Namun, ketika mendengar Wati berhasil mendaki puncak Everest, kebanggaan keluarga membuncah. "Lebih mengharukan lagi, yang menyematkan lencana penghargaan di depan para pejabat negara, ibu saya sendiri. Tapi bila kondisinya jadi seperti ini, ya, kami kecewa berat," papar Rita. Setelah berhasil mendaki Everest, Wati dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor.
Sayangnya, aktivitas Wati mendaki gunung acapkali juga merepotkan keluarganya. Misalnya, usai pendakian di Everest itu, Sumardiyanto, kakak sulung Rita yang bekerja di Irian, terpaksa menyusul adiknya ke Nepal. "Andai tidak dijemput kakak, mana bisa Wati pulang? Waktu itu, kakak saya harus membayar para pemandu asal Nepal yang mengantar Wati hingga ke puncak Everest. Kalau enggak dilunasi, Wati enggak boleh pulang. Padahal, untuk hal-hal seperti itu, kan, sudah disiapkan dananya? Tapi entah kenapa mereka belum menerima bayaran sampai Wati menjelang pulang."
Minta Uang TerusDi mata Rita, Wati adalah sosok yang lebih suka asyik dengan dunianya sendiri. Bisa jadi lantaran ketertutupannya, setiap masalah dipendam sendiri. "Tahun 1997, dia mulai mengalami gangguan jiwa. Kami sering membawanya ke RS Puri Nirmala, Yogya. Tapi lama-lama kami tidak sanggup membayar, lalu dibawa ke RSJ di Magelang. Ini kali ketiga dia kami masukkan ke sana. "
Anehnya, lanjut Rita, setiap kali kondisi Wati membaik, "Dia buru-buru bikin proposal buat cari dana pendakian. Pulang mendaki, dia kumat lagi. Istilah kami, ketika sedang off, dia di rumah. Setelah on, pergi mendaki lagi. Yang menyedihkan, setiap kali dia berada di rumah, yang diminta selalu uang, uang, dan uang. Katanya, dia perlu uang untuk biaya mencari dana pendakian. Mana mungkin Ibu punya uang sebanyak dia minta? Hal itu terus berlangsung sampai tahun 2008, saat ibu kami sakit-sakitan karena usia," tutur Rita yang membenarkan, adiknya pernah menjadi guru BP di sebuah SLTA swasta di Kota Baru, Yogya, lalu di perusahaan kerajinan di Bantul. "Dia keluar karena kumat. Stres karena maunya orang lain seperti dirinya."Rini Sulistyati