Jangankan orang lain, pasangan Amin (36) dan Inet (34) sendiri masih tak percaya mereka masih hidup hingga kini. "Tuhan masih kasih kami kesempatan melihat dunia ini," kata Amin, warga Dusun Pulau Air, Patamuan, Pariaman.
Saat gempa, "Kami sekeluarga sedang duduk di dalam rumah. Rencananya, saya akan menengok orang tua di daerah Sungai Sarik, malam hari." Tiba-tiba gempa mengguncang rumah mereka. "Kami segera keluar rumah. Saya lari sambil memeluk Edi (2,5), si bungsu. Saudara saya menggendong si sulung."
Hanya dalam hitungan detik, rumah Amin roboh. Sekejap kemudian, Amin sekeluarga tersapu tanah longsor perbukitan yang hancur akibat gempa. "Saya tertimbun longsoran tanah yang bercampur air. Rasanya sudah terkubur hidup-hidup karena tak dapat melihat apa-apa," ujarnya. Si bungsu yang berada dalam pelukannya, akhirnya terlepas.
Dari dalam timbunan longsor, Amin berusaha menemukan jalan keluar. "Saya terus mencari pijakan yang kuat agar bisa meloncat ke atas untuk menyelamatkan diri. Tapi sia-sia. Lumpur justru makin menenggelamkan saya," ungkapnya. Meski ditimbun longsor, Amin tetap sadar. Ia pun masih sadar ketika tiba-tiba saja tubuhnya kemudian terlempar dan terseret arus air sungai yang deras bercampur lumpur. "Saya terus berdoa agar diberi perlindungan," kisahnya.
Ia terus mencari upaya untuk menyelamatkan diri dengan merentangkan tangannya untuk menggapai sesuatu agar bisa bertahan. Beruntung, setelah terbawa arus bercampur lumpur sekitar satu kilometer, Amin terdampar di sebuah tempat kering. Dengan sisa-sisa tenaga, ia mencoba bangkit dan berjalan. "Dari tempat berdiri, saya sempat melihat dari kejauhan. rumah kami tak tampak lagi," kata Amin yang langsung dibantu warga yang selamat.
Tak Sanggup Cerita
Kisah Inet pun tak kalah menegangkan. Bahkan, saat ditemui, ibu dua anak ini masih terlihat syok. "Kepala saya masih sakit akibat benturan." Kata Inet, ia tengah berada di dapur ketika bencana datang. "Bunyi gemuruh terdengar dari arah perbukitan. Rumah kami bergoyang kencang. Saya segera lari keluar, tiba-tiba longsor menyapu semuanya. Saya tenggelam ditimbun tanah longsor."
Tanah longsor bercampur air terus menyeret Inet yang berulangkali terlempar ke atas kemudian terhempas. "Saya tak tahu bagaimana kejadian selanjutnya, tiba-tiba saja saya sudah berada jauh dari rumah dan terbaring di atas tumpukan lumpur."
Dalam kondisi setengah sadar, Inet berusaha mencari pertolongan. "Di sekeliling saya tak ada orang," katanya. Dengan sisa-sisa tenaga, Inet berjalan menyusuri pinggiran sungai. Nasib nahas masih menyertainya. Saat berjalan mencari bantuan, kepalanya tertimpa sebutir kelapa yang jatuh dari pohonnya. Inet sempoyongan, berteriak minta tolong. Beberapa warga yang mendengar teriakannya, segera datang menyelamatkannya.
Inet, Amin, dan anak sulung mereka selamat, tetapi mereka harus merelakan kepergian Edi, si bungsu. Amin dan Inet bahkan terdiam dan menitikkan airmata ketika ditanya kenangan bersama buah hatinya. "Kami tak sanggup menceritakan hal itu," ujar mereka. Jenazah sang anak ditemukan sehari setelah musibah dan segera dimakamkan.
Hingga kini Amin dan Inet belum berani melihat rumah mereka yang telah rata dengan tanah. "Saya belum bisa berbuat apa-apa. Tubuh masih terasa sakit. Belum sanggup lagi kembali ke lokasi bencana. Masih trauma. Kami berharap pemerintah menyediakan lokasi tempat tinggal yang baru," ucap Amin yang sejak gempa memilih tinggal di tenda pengungsian.Uda