David Gurnani, The Biggest Loser Asia (1)

By nova.id, Senin, 29 Maret 2010 | 17:09 WIB
David Gurnani The Biggest Loser Asia 1 (nova.id)

David Gurnani The Biggest Loser Asia 1 (nova.id)
David Gurnani The Biggest Loser Asia 1 (nova.id)

""Bersama keluarga besarku dan Levin (di kananku) sepuluh hari menjalang ikut kompetisi TBLA (Foto:Ahamad Fadilah/Nova) "

Didaftarkan Kakak

Nah, tahun lalu, tepatnya Agustus 2009, acara serupa diselenggarakan untuk tingkat Asia. Audisi peserta dilakukan di Jakarta. Kakak perempuanku, Ruby, nekat mendaftarkan aku. Tetapi aku bilang tidak tertarik. "Malu-maluin saja," kataku. Kami pun beberapa kali sempat ribut. Ruby bersikukuh agar aku ikut biar sehat, sementara aku tak mau.

Ah, ternyata Ruby didukung tunanganku, Levin Ramchandani, yang sebelumnya juga sudah sering menyarankan agar aku menurunkan berat badan biar sehat. Nah, begitu tahu Ruby mendaftarkan aku ke TBLA, Levin senang bahkan amat mendukungku. Oleh karena dibujuk orang yang aku cintai, aku pun menyerah dan ikut audisi.

Tujuan awalku hanya untuk menyenangkan kakakku saja. Eh, ternyata aku lolos seleksi di Jakarta, dan September 2009 harus berangkat ke Malaysia sendirian. Di Malaysia aku bertemu dengan 30 peserta lainnya.

(David Gurnani lahir di Jakarta 5 Maret 1984. Ia adalah anak ke dua dari tiga bersaudara pasangan Jani Gurnani dan Evangely yang berdarah India. Masa kanak-kanak David dihabiskan di Jakarta. Sejak usia 5 tahun-an ia sudah menderita obesitas, menurun dari ayahnya. Penyuka musik R & B dan Gospel ini suka makan segala makanan dalam porsi besar.

Meningkat remaja, David meneruskan ke sekolah setingkat SLTP di New Era High School, India. Di sana lah ia berkenalan dengan gadis Jakarta, Levin, yang kini jadi tunangannya. Di India berat badannya sempat turun lantaran banyak aktivitas dan olah raga yang harus ia lakukan. Kembali ke Jakarta David meneruskan kuliah diplomanya. Hobi makannya kumat lagi, hingga berat badannya membengkak lagi).

Masuk Karantina

Setelah melalui serangkiaan tes kesehatan, termasuk tes darah, urin, jantung dan sebagainya, aku dinyatakan lolos di 16 besar. Artinya secara medis aku sehat, meski sebenarnya secara fisik, dengan obesitas aku sering pusing dan sakit punggung. Berjalan sedikit saja lutut sudah sakit. Bila aku tak sehat, tak boleh ikut ke tahap berikutnya.

Tahap selanjutnya, dari 16 peserta dibagi menjadi dua tim. Setiap tim didampingi satu pelatih yang bertugas mengawasi, melatih olah raga dan memotivasi agar peserta tidak patah semangat. Aku di bawah asuhan pelatih Dave Nuku, Manager Fitness First Asia.

Kami pun dikarantina di sebuah resort di Malaka. Selama di karantina peserta juga didampingi tim medis, pakar nutrisi, dan kejiwaan. Fokus kami, selain diet, adalah olah raga untuk membakar lemak sebanyak-banyaknya. Jadi, selama di karantina, aku menjalani olah raga cardio vascular sepeti lari dan angkat beban untuk membentuk otot.

Agar konsentrasi tercurah penuh ke penurunan berat badan, peserta yang dikarantina tak boleh membawa telepon genggam dan tak boleh bersinggungan dengan internet. Bila ingin menelepon keluarga, harus seizin produser acara itu. Komunikasi dengan keluarga dan teman terputus total. Kebiasaanku makan dalam jumlah banyak dan sedikit olah raga, dibalik 180 derajat. Selama dikarantina, aku hanya makan dengan porsi yang sudah ditakar 2000 hingga 2200 kalori per hari. Itu porsi ideal untuk pria. Di minggu pertama , aku diwajibkan melakukan olah raga 5 jam per hari.

Pagi hari aku hanya sarapan oatmeal saja. Sementara siang makan nasi merah dengan lauk ikan atau ayam plus sayuran dan diakhiri makan buah. Hasilnya, di minggu pertama bobotku turun 13 kg!

Fantastis, ya. Bagian tubuh yang terlihat pertama kali susut adalah bagian perut. Terasa lebih enteng. Lingkar pinggangku yang semula 52 cm, saat itu susut menjadi 48 cm. Dari sinilah optimismeku untuk pertama kalinya tumbuh. Saat itu aku yakin bisa melangkah ke tahap berikutnya. Aku juga percaya, pasti Tuhan punya rencana besar atas diriku. Aku semakin semangat meneruskan kompetisi dengan tujuan utama agar semakin sehat. Soal hadiah, itu belakangan.

Pada minggu-minggu berikutnya, olah raga yang harus kulakukan semakin berat. Per hari bisa 10 jam hingga 12 jam. Sementara jumlah kalori yang aku konsumsi masih sama dengan minggu pertama. Namun, bukan berarti jumlah penurunan berat badanku ada di angka yang sama. Tergantung bagaimana tubuh merespons. Makanya, di minggu kedua dan seterusnya penurunan bobotku tidak sama. Misalnya di minggu kedua turun empat 4 kg, minggu ketiga 5 kg, minggu ketiga 6 kg.

Selama di karantina, aku diajari memilih dan memasak makanan yang benar agar berat badan turun. Pelajaran ini amat berarti bagi semua peserta karena masa karantina hanya akan berlaku selama 2,5 bulan. Setelah itu dipulangkan ke negaranya masing-masing untuk meneruskan diet dengan pola makan yang sudah diajarkan selama 2,5 bulan pula.

Pada prinsipnya penderita obesitas yang hendak menurunkan berat badan boleh makan apa saja, asal porsinya benar dan tidak sering makan, terlebih ngemil. Juga tidak benar bila hanya makan buah saja. Nasi atau karbohidrat tetap penting bagi tubuh.

RINI SULISTYATI/bersambung