Kisah Menegangkan Mira Di Jembatan Penyeberangan Maut (2)

By nova.id, Senin, 15 Maret 2010 | 05:37 WIB
Kisah Menegangkan Mira Di Jembatan Penyeberangan Maut 2 (nova.id)

Kisah Menegangkan Mira Di Jembatan Penyeberangan Maut 2 (nova.id)

"Mira Astuti dan ibunya (Foto: Adrianus Adrianto) "

Di RS itu pula, salah satu perawat bercerita, aku adalah korban kejahatan di jembatan penyeberangan yang ke sekian kalinya. Nah, karena itulah kusarankan pada masyarakat atau karyawati kantor yang pergi atau pulang malam hari, sebaiknya semakin mawas diri. Sementara untuk perusahaan, sebaiknya menyediakan transportasi antar-jemput.

Jelas, kejadian itu membuatku trauma. Melihat jaket yang kukenakan malam itu saja, aku ngeri sekali. Terbayang lagi peristiwa mengerikan itu. Tapi, aku tak berniat melakukan konsultasi ke psikolog untuk menyembuhkan traumaku. Cukup dengan ikhlas dan memohon perlindungan kepada Tuhan saja, semoga luka-lukaku sembuh dan penglihatanku pulih.

Oh, ya, usai mendapat pertolongan pertama, siangnya aku dipindah ke RS Mata Aini, mengingat kondisi mata kananku memerah dan tak bisa melihat sama sekali. Ternyata aku harus dioperasi. Usai operasi, bila mataku disorot lampu, aku masih bisa melihat cahaya api tetap tak bisa digunakan untuk melihat, meski jarak dekat. Sementara mata kiri juga memerah dengan pandangan agak terbatas. Lebih dari satu meter, penglihatan masih kabur. Aku rasa luka di dekat mata itu akibat disilet pakai cutter.

Dari RS Mata Aini aku dirujuk lagi ke dokter syaraf di RSCM untuk memeriksakan kepalaku yang dihantam batu beberapa kali. Untunglah, meski masih sakit, dokter mengatakan semuanya baik-baik saja. Hanya pelipis yang sobek, harus dijahit. Bagaimana nasib isi tasku? Rupanya si penjahat membuang tas kerjaku di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Tas yang berisi mukena, payung, dompet berisi uang Rp 150 ribu, surat-surat berharga, dan telepon genggamku raib.

Saat dirawat di RSCM, polisi datang membawa seorang pria kurus yang ditutup matanya dan bertanya, apakah pria itu yang menyerang dan merampokku. Sayang sekali aku tak bisa memastikan karena di malam kejadian itu, aku benar-benar tak bisa melihat sosoknya. Pada saat kejadian, ketika pria itu ada di atasku, mataku sudah tidak bisa melihat!

Apa boleh buat, kini aku harus menjalani saja. Aku menganggap kesialan ini adalah bagian dari hidup yang harus kulalui. Aku pun tetap akan bekerja meski kini sedang memutar otak mencari jalan lain yang tidak melewati jembatan itu. Kalau boleh, sih, aku akan minta ke perusahaan agar tidak lagi mendapat giliran tugas malam hari.

Kabar baiknya, kata teman-temanku, kini jembatan maut itu sudah terang-benderang. Entahlah apa ini ada kaitannya dengan kunjungan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedianingsih yang sempat membesukku di rumah sakit atau tidak. Semoga semua jembatan penyeberangan terang-benderang, tanpa perlu menunggu jatuhnya korban seperti aku.Rini Sulistyati