Hasil RacikanArsitek
Jenis makanan Italia sudah tak asing lagi di lidah orang Indonesia. Salah satunya adalah pizza. Namun, meski berasal dari daratan Eropa, tak semua pizza dibanderol dengan harga mahal. Di beberapa lokasi, pizza sudah mulai merambah kelas yang lebih rendah, dengan kualitas yang tak kalah nikmat dengan yang mahal. Mamamia.
Suatu sore, suasana warung Nanamia Pizzeria di daerah Gejayan, Yogya, sungguh ramai. Belasan mahasiswa duduk-duduk sambil bersenda gurau. Suara riuh mereka agak mereda setelah pelayan mengantar pizza pesanan mereka. Makan pizza di warung? Mengapa tidak! "Saya memang ingin memperkenalkan pizza pada masyarakat Yogya. Menu internasional bergaya warungan," tutur Nana Kovitschka, sang pemilik warung.
Nama warungnya pun, katanya, hasil dari plesetan. "Orang Yogya, kan, suka plesetan. Nah, saya ingin memakai nama saya, digabungkan dengan istilah yang berbau Italia. Jadilah nama Nanamia, plesetan dari Mamamia." Kendati makanan internasional, namun harganya tetap disesuaikan dengan kondisi masyarakat Yogya yang banyak mahasiswanya. "Pokoknya, jauh lebih murah dari pizza lain yang bergaya restoran. Sekitar Rp 8 ribu - Rp 49 ribu. Masih pas, kan, untuk mahasiswa? Apalagi, satu pizza bisa dinikmati beberapa orang," lanjut Nana yang menyajikan pizza yang berbeda dengan yang selama ini dikenal.
Nana lalu berkisah, ide membuat warung didasari hobinya menyantap menu Italia. Nana juga suka jalan-jalan ke Eropa, termasuk Italia. Selain berkunjung ke Italia, Nana belajar masakan Italia dari buku dan internet. "Saya praktikkan dan minta teman-teman mencoba. Komentar mereka ternyata positif. Katanya, masakan saya enak. Saya pun tambah percaya diri untuk buka warung," lanjut Nana yang mulai membuka warungnya 10 September 2007. Lokasi sengaja dipilih dekat beberapa kampus dan hotel. "Juga dekat dengan tempat tinggal orang-orang asing. Semula, saya enggak tahu apa bisa diterima masyarakat Yogya mengingat kehadiran pizza di sini masih terbilang baru. Kalaupun gagal, saya akan kembali ke pekerjaan sebelumnya," tutur arsitek lulusan UGM ini.
Di warungnya, dapur sengaja diletakkan di depan agar pengunjung pun bisa menyaksikan langsung kala chef memasak. Bersama enam karyawannya, Nana mencoba mengolah pizza dengan gaya sesuai aslinya. "Saya memasak dengan kayu dari pohon buah-buahan, seperti mangga dan rambutan. Tujuannya, agar aromanya wangi," kata Nana yang sudah punya pemasok kayu bakar. Tamu pun semakin banyak berdatangan. "Banyak yang penasaran, warung ini, kok, ramai banget. Padahal, warungnya sempit. Cuma muat 20 orang. Saya sampai menolak tamu." Kini, warung itu sudah diperluas dan muat 50 orang. Saking larisnya, warung Nana bisa menjual 150-an pizza per hari. "Kadang kami juga tutup lebih cepat karena pizza sudah habis," ujar Nana. Selain pizza, Nana pun menyajikan hidangan khas Italia lainya seperti spaghetti dan lasagna.
Untuk memperluas pasar, tahun ini Nana berencana buka cabang di kawasan Prawirotaman, Yogya bagian selatan. "Saya ingin menjangkau lebih banyak pasar. Kebetulan Prawirotaman juga terkenal sebagai pusat hunian turis asing. Saya sudah dapat lokasi yang pas, luasnya dua kali warung di sini."
Nana sangat senang karena respons masyarakat begitu bagus. "Banyak cerita menarik. Ada ibu yang pernah tinggal di Italia bilang, rasa pizza saya sudah sama dengan di Italia. Wah, senang sekali," kata Nana yang masih menggunakan bahan-bahan impor. Wanita periang ini melanjutkan, warungnya juga jadi ajang pertemuan antara turis asing dengan mahasiswa lokal. "Suasana warung saya buat sedemikian hangat, sehingga masing-masing tamu bisa saling berinteraksi. Tamu lokal dan asing bisa saling membaur. Mereka bisa saling tukar informasi."
Kata Nana, hasil keuntungan warungnya selain digunakan untuk modal buka warung lagi, juga untuk jalan-jalan. "Iya, dong, jalan-jalan itu penting," ungkap Nana yang untuk sementara meninggalkan dunia Arsitektur. "Sekarang saya jadi arsitek makanan saja."
Henry Ismono
foto-foto: Henry Ismono