Sejak saat itu lare-lare terus berkembang. Orang Jakarta yang pulang kampung ke Solo untuk berlebaran, misalnya, mulai mencari outlet lare-lare. Mencari ide tulisan yang akan dimunculkan adalah tugas Ary. Sedangkan sang suami, M. Tohari C (35) yang beralih profesi dari fotografer di Jakarta menjadi dosen di ISI Solo ini, bertugas mendesain. Ide membuat kalimat didapat Ary dari pengalamannya mengasuh kedua anaknya, dari milis tentang pengasuhan anak yang ia ikuti selama ini, dan dari pengalamannya bertahun-tahun menulis artikel seputar pengasuhan anak (parenting) selama menjadi wartawan. "Saya tidak mau membuat kaus yang asal nyeleneh. Kausnya harus membuat anak nyaman sekaligus ada nilai tambah untuk pembeli lare-lare," ujarnya.
Karena memberikan ASI pada kedua anaknya, misalnya, Ary yang kerap ikut pameran ini antara rajin "memprovokasi" para ibu yang baru melahirkan untuk memberikan ASI pada bayinya antara lain lewat kalimat-kalimat di kaus. Misalnya, kalimat 'Asiholic pecandu berat air susu ibu', 'Sudah lulus S2 minum ASI sampai umur 2 tahun', dan sebagainya. Ada pula kalimat 'Peserta matakuliah toilet training', yang didapat Ary ketika ingin mengajari anaknya ke toilet agar tidak mengompol lagi.
Kini, dengan sistem keagenan maupun pesan langsung, lare-lare tersebar di Aceh, Sulawesi, NTB, Jogja, Surabaya, Jakarta, Bandung, Madura, bahkan Papua dan Malaysia. Dalam waktu dekat, kaus yang kini diproduksi 100 buah per hari ini juga akan merambah Bali. Tak sedikit pembeli yang mengoleksi dan menunggu desain baru. Kini, selain menjual kaus anak usia 0-10 tahun dengan harga mulai Rp 40-45 ribu, Ary yang punya 70 desain juga membuat celemek menyusui seharga Rp 55 ribu, dan gendongan bayi. Sementara, kaus hamil dan kaus menyusui dibandrol Rp 75-85 ribu, dan kaus dewasa Rp 47,5-55 ribu.
Hasuna Daylailatu, Yetta Angelina