20 Tahun Hidup dengan Kaki Dirantai

By nova.id, Kamis, 14 Januari 2010 | 06:04 WIB
20 Tahun Hidup dengan Kaki Dirantai (nova.id)

20 Tahun Hidup dengan Kaki Dirantai (nova.id)

"Muhammad Yusuf (Foto: Jafarudin) "

Menyedihkan. Itulah kalimat pertama yang terdengar saat warga Desa Rayeuk Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara, ketika menceritakan tentang kehidupan Muhammad Yusuf (38). Laki-laki yang dulunya terkenal sangat baik dan rajin bercocok tanam ini, kini harus merajut hidup di sebuah gubuk reot dengan kaki dirantai.

"Ia sudah menghabiskan sekitar 20 tahun umurnya dalam gubuk ini dengan hanya beralaskan tikar," ujar Muhammad Adam (77), ayah kandung M Yusuf ketika berbincang dengan Serambi di gubuk yang dibangun di samping rumahnya, Selasa (12/1). Gubuk berukuran 2×2 meter itu berdindingkan terpal.

Tubuh Muhammad Adam terlihat sudah bongkok karena selama 20 tahun terakhir, ia hanya duduk di tempat tidurnya. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini mengalami gangguan jiwa saat masih berumur sekitar 18 tahun, ketika keluarganya masih bertani di Takengon, Aceh Tengah.

Muhammad Adam menyebutkan, selama ini ia telah berusaha berbagai cara untuk mengakhiri derita anaknya. Namun, hingga kini upaya-upaya itu belum membuahkan hasil. Padahal satu unit rumah dan sebidang petak sawah telah dijualnya sekitar tahun 80-an untuk biaya berobat. Namun, karena tidak memiliki biaya lagi, ia pun terpaksa merantai kaki anaknya, untuk menghindari hal-hal yang tidak inginkan terhadap keluarga dan orang lain.

"Awalnya kami tidak merantainya, kami tidak tega melihatnya menderita. Tindakan itu terpaksa kami lakukan, setalah pada suatu hari dia mencekek saya hingga tak berdaya. Beruntung ketika itu ada warga yang melihat dan menolong saya," kata Muhammad Adam, didampingi isterinya Siti Maryam (70).

Muhammad Adam menceritakan, sebelum penyakit itu datang, anaknya itu sangat baik dan rajin bekerja sebagai petani, ketika masih merantau ke Bener Meriah. Namun, setelah ia mengalami kelainan jiwa, ia terpaksa harus dibawa pulang untuk berobat. "Awalnya, setiap minggu kami rutin membawanya dokter saraf di Lhokseumawe. Tapi obat tersebut sangat mahal, hingga kami sudah menghabiskan dana jutaan rupiah. Ketika kami tidak sanggup membeli obat, penyakit yang dideritanya itu langsung kambuh lagi," ungkap M Adam.

Ditambahkan, mereka tidak sanggup lagi membawa anaknya ke rumah sakit jiwa, karena sudah tidak lagi memiliki biaya. Kini, setiap harinya mereka terus berdoa dan berharap, akan mendapat bantuan dari pemerintah atau pihak dermawan yang membantu meringankan penderitaan anaknya.Jafaruddin/Serambinews