Gus Dur Di Mata Yenny (1)

By nova.id, Selasa, 12 Januari 2010 | 05:18 WIB
Gus Dur Di Mata Yenny 1 (nova.id)

Gus Dur Di Mata Yenny 1 (nova.id)

""Bapak adalah tempatku mengadukan segala persoalan hidup" kata Yenny (Foto: Gandhi) "

Kepergian Gus Dur menghadap Sang Khalik menyisakan duka yang mendalam, terlebih bagi keluarga yang ditinggalkan. Keikhlasan, kesederhanaan dan kegigihan mempertahankan ideologi, adalah sebagian dari apa yang diajarkan Gus Dur. Didampingi suami tercinta Dhohir Farisi, dan di tengah kesibukannya menerima ratusan tamu yang terus berdatangan, putri kedua Gus Dur , Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid) secara panjang lebar mencurahkan isi hatinya saat ditemui Nova di Ponpes Tebu Ireng, Jombang, Rabu (6/1).

Sosok Gus Dur bagi kami tak tergantikan. Gus Dur tak hanya sebagai Bapak, tapi juga guru sebagai tempat kami mengadu segala persoalan hidup. Sungguh kepergian Bapak merupakan pukulan berat bagi kami. Sekarang tak ada lagi yang bisa aku mintai nasihat. Kepergian Bapak membuat kami kehilangan lelucon-lelucon yang rasanya tak pernah henti-hentinya dilontarkannya dahulu.Bagiku, Gus Dur merupakan sosok manusia yang komplit, multitalenta yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dengan baik. Sepanjang hidupnya, Gus Dur mencurahkan sepenuh waktunya untuk orang lain, bahkan ketimbang keluarga atau dirinya sendiri. Contohnya, sebagai seorang kiai, Gus Dur tak pelak sering mendapat 'salam tempel' alias amplop dari tamu atau orang-orang dekatnya. Tapi, jangan salah kaprah, karena uang tersebut tidak pernah dipakai Gus Dur untuk keluarga sendiri. Uang itu pasti akan habis karena ada saja orang yang datang untuk minta sumbangan. Makanya ponpes Bapak di Ciganjur itu sampai sekarang kan belum selesai, padahal Bapak sibuk membantu pembangunan ponpes lain.

Jangankan urusan uang sumbangan, untuk urusan yang sangat vital, misalnya soal uang biaya sekolah atau kuliah anak-anak saja, Gus Dur tidak selalu langsung memberi jika kami meminta. Biasanya masih harus dijanjiin dulu karena beliau tidak punya uang. Beruntung hampir semua saudaraku punya pekerjaan masing-masing. Jadi, kalau untuk biaya kuliah saja bisa cari sendiri.

Untuk urusan keperluan rumah lain lagi. Kulkas, teve, meja kursi atau perabot-perabot lain itu semua ada karena pandai-pandainya Ibu menyimpan uang. Kalau mengharapkan dari Bapak jelas tidak akan terbeli. Hidup Bapak memang sangat sederhana. Sederhana bukan hanya dalam teori, tapi juga dalam praktek. Contohnya, ketika kami masih kanak-kanak, setiap Lebaran pasti ada acara mudik ke Jombang. Tapi jangan dikira kami naik pesawat atau mobil bagus. Kami semua hanya naik kereta api ekonomi Gaya Baru. Kami juga berkumpul berdesak-desakan dengan penumpang umum lainnya. Bahkan, ada satu kebiasaan Bapak dari dulu, tiap malam menjelang di kereta api, anak-anaknya ditidurkan di bangku bersama ibu supaya lebih empuk, sedang Bapak sendiri memilih tidur di celah diantara kedua tempat duduk dengan beralaskan koran. Kebiasaan itu pun terbawa sampai sekarang ini. Sekitar setahun yang lalu saya bersama Ibu dan Bapak menghadiri acara di Tegal. Saat perjalanan pulang, kami menaiki kereta api eksekutif. Meski tempat duduknya empuk dan nyaman, Bapak tetap tidak suka tidur disana. Bapak tetap memilih di lantai kereta. Kami pun terpaksa meletakkan beberapa bantal di atas alas koran, supaya Bapak tetap merasa empuk dan nyaman. Dalam kondisi begitu saja Bapak sudah nyaman bahkan tidurnya sudah sampai ngorok-ngorok (Yenny pun tertawa mengingat kejadian tersebut).

Karena kesederhanaan itu pula, Bapak tidak suka membelikan anak-anaknya barang-barang bermerk dengan harga mahal. Bapak selalu menyarankan membeli yang murah-murah, yang penting cocok di badan. Jadi, anak-anak Gus Dur itu enggak pernah pakai barang bermerk. Tapi sebaliknya, kalau soal buku, Bapak tidak pernah membatasi. Berapa pun mahalnya harga buku, Bapak dengan senang hati membelikan.

Tak Sempat Menimang Cucu

Sebenarnya belakangan ini hati Bapak tengah gembira karena mendapat kabar tentang kehamilanku. Ceritanya, seminggu sebelum wafat, sedianya aku harus menghadiri suatu acara di luar kota. Tapi waktu itu aku curiga, kok belum datang bulan. Aku pun mencoba melakukan tes kehamilan. Dan alhamdulillah, ternyata aku memang hamil. Ketika aku memberitahu Bapak soal kehamilanku, Bapak terlihat bahagia sekali. Bahkan, Bapak mewanti-wanti agar aku bisa menjaga janin yang ada dalam kandunganku dengan baik.

Karena kekaguman pada Bapak, ketika itu aku juga sempat meminta izin, jika kelak anakku lahir lelaki aku ingin menggunakan nama Abdurahman di depannya. Dan Bapak menyetujui. Namun di hati yang paling dalam aku juga bersyukur, sebelum mengembuskan nafasnya yang terakhir bapak masih sempat menyaksikan pernikahanku. Padahal, sebenarnya rencana pernikahan itu dilaksanakan pada akhir Desember 2009. Tapi justru Bapak tidak setuju dan meminta agar pernikahanku itu dipercepat. Entah itu sebagai firasat atau memang sudah sudah jalan Allah, ternyata di akhir Desember Bapak akhirnya benar-benar pergi untuk selamanya.

Bapak memang sangat perhatian. Ketika panitia acara pernikahan mengadakan rapat di rumah, Bapak kadang ikut menemani meski sekedar nimbrung mendengarkan para panitia melakukan pembagian tugas. Bahkan meski tidak ikut terlibat merancang acara, sesekali Bapak melontarkan guyonan. Misalnya, ketika kami membicarakan pemberian kupon bagi undangan sebagai pengganti suvenir, Bapak juga ikut nyeletuk. "Ambil suvenir saja kok pakai kupon segala, seperti mau antri sirup markisa," ujar Bapak yang disambut tawa teman-teman panitia.

Aku sendiri juga sangat bersyukur karena keberadaan Mas Farisi yang bisa diterima dengan baik oleh Bapak. Bapak memang tidak secara langsung mengutarakan padaku, tapi justru menyampaikan hal itu kepada kerabat yang lain. Ceritanya, setelah dia merasa sreg dengan Farisi, aku memperkenalkan calon suamiku secara resmi pada Bapak. Di perkenalan pertama itu, tidak ada percakapan apa-apa. Apalagi Mas Farisi yang segan pada Bapak tidak berani banyak bicara kecuali hanya memijit-mijit kaki Bapak.

Setelah perkenalan itu, hampir setiap hari Mas Farisi mendatangi rumah atau langsung ke rumah sakit jika Bapak lagi pas di rawat di Rumah Sakit. Lagi-lagi tidak banyak yang dilakukan oleh Mas Farisi kecuali memijit kaki dan bagian tubuh Bapak yang lain. Karena kesabaran dan ketelatenan melakukan pendekatan itu, Bapak memuji Mas Farisi sebagai lelaki yang baik dan pemberani. Tapi ucapan Bapak itu justru disampaikan kepada salah seorang saudara yang lain.Gandhi Wasono M/ bersambung