"Lumayan berat kalau sudah diisi koin. Bisa sampai lima 5 Kg." Untungnya, "Ada, kok, bank yang mau menerima. Ketika pertama kali menabung, petugasnya tanya, berapa tahun mengumpulkan uang logam sebanyak itu. Setelah dijelaskan, banyak yang simpati."
Dua Tahun NunggakBegitulah. Ketika jumlah uang dianggap sudah mencukupi, Nia dan Hanny memutuskan mulai mengangkat anak asuh. Caranya, mereka minta pendapat coiners lewat blog hingga akhirnya mengangkat Gempur yang kala itu duduk kelas 6 SD, daerah Pamulang. "Sebelumnya kami survei dulu. Gempur anak ke-3 dari 5 bersaudara yang hidupnya pas-pasaan. Ayahnya hanya jaga warung rokok, sedangkan ibunya buruh cuci pakaian," jelas Hanny.
Sudah hampir dua tahun Gempur menunggak uang sekolah. "Pihak sekolah sangat baik, masih memperbolehkan dia masuk sekolah. Yang jadi masalah, setamat SD, dia tidak bisa mengambil ijazah sebelum bayar uang sekolah. Kala itu, kami membayar senilai Rp 700 ribu lebih untuk uang sekolah plus uang buku dan biaya try-out."
Hanny dan Nia berjanji akan membiayai sekolah Gempur. Setidaknya sampai lulus SMA. "Begitu membantu biaya anak sekolah, dia tidak mungkin ditinggalkan. Kami harus bertanggung jawab tiap bulan membayar uang sekolah dan keperluan pendidikan. Syukurlah, akhirnya Gempur lulus SD. NEM-nya cukup bagus, sehingga ia bisa masuk SMP favoritnya."
Ketika Gempur lulus SD dengan nilai memuaskan, Hanny dan Nia sempat mengajaknya bermain-main di Kidzania. "Sebagai hadiah untuknya. Kami melihat, Kidzania menawarkan banyak pelajaran yang baik untuk Gempur," ungkap Nia seraya mengungkapkan, CaC juga turun tangan membantu kakak Gempur, yang juga sekian lama nunggak uang sekolah.
Nia dan Hanny sudah "merasa aman" sanggup membiayai pendidikan Gempur karena telah membuka tabungan pendidikan untuk Gempur senilai Rp 5 juta. "Dananya kami ambil dari uang hadiah yang diterima dari Nokia Indonesia. Kami dipilih sebagai penerima penghargaan The Best Online Activism 2009. Dari situ, kami ingin mengambil satu anak asuh lagi."
Dua sekawan ini mengakui, langkah yang mereka lakukan masih kecil. "Belum banyak uang yang berhasil kami kumpulkan, karena itu belum berani mengambil banyak anak asuh. Enggak mungkin bulan ini bantu biaya sekolah, tapi bulan berikutnya dilepas lagi. Lebih baik sedikit tapi si anak setidaknya bisa sampai lulus SMA. Buat kami, suatu pendidikan baru berhasil ketika si anak sekolah sampai selesai."
Kini, tiap CCD digelar, ada sekitar 30 an orang yang hadir. Di luar itu, "Yang ngumpulin koin sebenarnya lebih banyak lagi. Kebetulan ada teman yang bersedia mengajak teman kantornya untuk ikut jadi coiners. Nah, kami taruh toples di sana. Selanjutnya, orang satu kantor bisa ramai-ramai mengisi. Sudah ada beberapa kantor yang bersedia jadi drop zone. Untuk sementara, hanya itu upaya yang kami lakukan. Sejauh ini, kami tidak pernah aktif mendekati perusahaan untuk jadi drop zone," sambung Hanny.
Nia menambahkan, saat ini sudah ada kota lain seperti Bandung, Yogya, dan Bali yang membentuk gerakan sosial serupa. "Mudah-mudahan makin banyak yang melakukan kegiatan serupa di kota-kota lain. Makin banyak CaC, makin banyak pula anak yang sekolahnya terbantu," harap dua sekawan ini.
Henri Ismono
Foto-foto: Henry Ismono