Bisnis Melejit, Tidur Di Atas Gepokan Duit (2)

By nova.id, Rabu, 30 Desember 2009 | 02:32 WIB
Bisnis Melejit Tidur Di Atas Gepokan Duit 2 (nova.id)

Bisnis Melejit Tidur Di Atas Gepokan Duit 2 (nova.id)

"Rumah, tempat usaha, dan kendaraan rpibadi. Inilah sebagian yang dimiliki Imam. "

Kegigihan pasangan ini mulai menunjukkan hasil. Pesanan tak hanya untuk hajatan, tapi juga diminta memasok makanan karyawan perusahaan. Untuk membuat perusahaannya lebih kelihatan mentereng, Imam kemudian menyewa lahan di kawasan Jl. Wonokromo. Khusus untuk kantor pemasaran.

Agar terkesan wah dan mewah, setiap ruangan ditulis "Ruang Direktur, Marketing, dan Kasir". Padahal, kata Imam, "Aslinya tidak ada. Semua pekerjaan saya kerjakan sendiri bersama istri. Itu semata-mata demi memberi kepercayaan pada calon pelanggan bahwa perusahaan saya bonafid," tutur Imam sambil tertawa.

Berkah Lumpur LapindoTahun 2007, Imam dan Diana bak kejatuhan durian. Ceritanya, di awal munculnya bencana lumpur Lapindo yang menggegerkan, Imam didatangi temannya yang menanyakan kesediaannya memasok ransum makanan untuk 4 ribu pengungsi yang ditampung di Pasar Porong. Tiap sebungkus nasi dan buah, dihargai Rp 5 ribu. Tentu saja tawaran itu disambut antusias.

Masalahnya, kata Imam, setelah dicek ke Dinas Sosial yang menangani para korban lumpur, ternyata belum ada kepastian, siapa yang kelak bertanggung jawab membayar mengingat situasi sangat kacau akibat kepanikan warga yang kehilangan rumahnya. Karena tak ada jaminan siapa yang membayar itulah, "Tak ada satu pun perusahaan katering yang bersedia melayani," cerita Imam.

Toh, di hati kecilnya, Imam yakin, ini berkah Tuhan yang tak boleh ditolak. "Insting saya bilang, ini harus dikerjakan. Soal siapa kelak yang akan membayar, enggak terlalu saya pikirkan," kata Imam.

Alhasil, berbekal uang pinjaman sebesar Rp 15 juta, Imam dan Diana membuat dapur umum di lokasi penampungan. "Saya mengerahkan 100 karyawan untuk melayani makan 4 ribu pengungsi. Sehari, tiga kali makan. Wah, tak terkirakan sibuknya. Memang, saya sudah terbiasa melayani makan ribuan orang, tapi begitu melayani 4 ribu pengungsi jadi kewalahan juga."

Baru memasuki hari ketiga, Imam kelimpungan. "Modal habis sementara belum ada kepastian siapa yang membayar. Mau tak mau, semua bahan mulai sayur, daging, sampai bumbu, harus utang ke penjual di pasar. Saya benar-benar tegang. Tak adanya dana talangan, benar-benar bikin saya stres," papar Imam sambil menambahkan, setiap hari jumlah pengungsi semakin bertambah.

Uang Dalam KarungMemasuki hari ke-15, Imam benar-benar angkat tangan. Ia sudah tak punya modal lagi untuk masak, sementara orang-orang pasar yang ia utangi sampai ratusan juta, sudah berbondong-bondong menagih padanya. (Bersambung)

Gandhi Wasono M.Foto-Foto: Gandhi/NOVA