Siang sepulang sekolah, saat penjual tenongan menyetor uang, aku dan saudara lain siap-siap menemani Mami menghitung berapa kue moci yang laku dan mencatat penerimaan uang. Mami memang rajin sekali membuat catatan. Yang paling sedih adalah kalau pagi-pagi sudah hujan. Itu berarti dagangan tak laku. Tentu saja kami rugi besar karena kue moci tidak bisa dijual lagi keesokan harinya.
Keuntungan dari penjualan kue moci digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Hasilnya memang pas-pasan. Begitu sederhananya hidup kami, bahkan kadang untuk makan keesokan hari saja, bingung. Kendati begitu, orangtuaku berusaha keras agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Kata mereka, "Orang bodoh itu menderita. Jangan seperti Papi dan Mami yang bekerja dengan berjualan tenaga. Tidur larut malam, pagi-pagi sekali sudah bangun. Kalian harus jadi orang pintar."(Bersambung)
Henry Ismono