Pengalaman divonis Lupus tanpa melalui tes yang layak, juga mendorong Dewi gencar menyosialisasikan penyakit ini pada kawan-kawannya di Mataram. Melalui situs pertemanan Facebook, Dewi berusaha mengumpulkan baik sahabat Odapus maupun orang-orang yang peduli.
Grup itu juga dibuat untuk memantau kabar sahabat Odapus yang tersebar di berbagai kota dan memberi mereka dukungan. "Dukungan sangat perlu karena Odapus tidak boleh stres. Stres bisa membuat penyakit mereka makin parah," katanya.
Yang jelas, selama aktif sebagai relawan, Dewi mendapat banyak kesan mendalam. "Saya jadi lebih bisa menghargai waktu dan lebih pintar mengisinya karena kita enggak pernah tahu, kapan kita mati."
Eban begitu terusik ketika tahu sepupunya, sebut saja Ina, divonis terjangkit virus HIV yang ditularkan suaminya. Ina syok dan nyaris bunuh diri. "Saya langsung cari tahu soal penyakit itu dan mencarikan dokter yang bisa menangani pasien HIV. Ternyata, kata dokter, kondisi Ina belum parah. Bahkan belum perlu penanganan medis," kisah ayah dua anak ini.
Di situlah, lanjutnya, perlunya pendampingan. "Soalnya, pengidap HIV akan syok dan depresi. Bahkan banyak yang berusaha bunuh diri. Itu yang saya lakukan terhadap sepupu, membantunya secara psikologis dan spiritual." Awalnya, kata Eban, sepupunya tak mau mendengar saran-sarannya. "Setelah setahun masih tetap sehat, Ina baru sadar, ternyata virus HIV tidak selamanya mengakhiri segalanya. Barulah ia sadar dan percaya omongan saya."
Keberhasilan mendampingi sepupunya menjadi salah satu alasan Eban bersama teman-temannya mendirikan komunitas pengidap HIV/AIDS Medan Plus. "Tapi alasan utamanya, karena makin banyak penderita HIV/AIDS di Medan. Sampai saat ini saja, kami sudah mendampingi 1.000 penderita." Metode pendampingan yang dilakukan, serupa dengan yang diterapkan Eban pada Ina.
Dalam pendampingan, lanjutnya, keterlibatan orangtua atau keluarga sangat diperlukan. "Jangan justru dikucilkan," kata Eban yang selalu menekankan kepada 32 relawannya untuk bersikap tulus saat melakukan pendampingan. "Kami selalu membujuk mereka yang masih memakai narkoba untuk berhenti. Tapi kami juga tak bisa memaksa. Semua itu, kan, tergantung penderitanya."
Yang jelas, Eban dan kawan-kawan akan bahagia tak terkira jika pasien yang didampingi berubah ke arah yang baik. "Kami juga sedih jika yang kami dampingi akhirnya meninggal dunia."(Tamat)