"Kakiku Diamputasi Berkali-kali" (1)

By nova.id, Rabu, 21 Oktober 2009 | 17:09 WIB
Kakiku Diamputasi Berkali kali 1 (nova.id)

Kakiku Diamputasi Berkali kali 1 (nova.id)

"Sebagai penyanyi cilik, nama Tira Sinamar sudah populer di daerahnya (Foto: Repro) "

Gempa di Sumbar beberapa waktu lalu, menyisakan banyak cerita sedih. Salah satunya, dialami artis cilik lokal, Alfatira. Pelajar kelas 5 SD berusia 10 tahun ini harus kehilangan kaki kanannya dan masih terus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Ditemui tabloidnova.com lewat sang ayah, Anuar (45), Tira mengisahkan dukanya harus kehilangan kaki.

Aku sekolah di SD Kartika, Padang. Pagi itu, Rabu (30/9), seperti biasa aku bangun, mandi, dan siap-siap berangkat ke sekolah. Papa yang biasa mengantarku ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah. Paling hanya 10 menit naik sepeda motor. Usai mengantar, Papa kembali mengurusi toko.

Sorenya, jam 15.00-18.00, aku les di lembaga bimbingan belajar Gama, Jl. Proklamasi. Jam 14.30, seperti hari-hari sebelumnya, aku sudah siap berangkat tapi Papa belum juga menjemputku. Mungkin ia masih sibuk di tokonya di Pasar Raya. Papa rela bolak-balik pasar-rumah, demi kepentingan belajarku. Waktu kutelepon, kata Papa ia terjebak kemacetan.

Begitu Papa sampai rumah, kami segera berangkat. Aku sedikit terlambat tiba di Gama dan segera menuju lantai 3. Ternyata kelas sudah penuh. Deretan depan sudah terisi semua. Jadilah, aku duduk di barisan paling belakang.

Semula tak ada yang aneh saat kami belajar. Pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika, berlangsung dengan lancar. Nah, saat pelajaran Bahasa Inggris, tiba-tiba saja terjadi goncangan kuat sekali. Kami sekelas tentu saja kaget, panik, dan segera berhamburan menuju lantai bawah. Suasana begitu kacau dan panik. Aku dan teman mengikuti Pak Guru sambil menjerit penuh ketakutan. Kami berdesak-desakkan, mencoba menuruni tangga yang sempit.

Tertimpa Beton

Tiba-tiba saja tangga di atas runtuh dan balok beton tangga menimpa kakiku. Braaaak... Aku terjerembab ke lantai yang penuh puing reruntuhan. Kedua kakiku terimpit. Luar biasa sakit. Sambil menahan rasa sakit yang tak tertahankan, aku terbayang Papa, Mama, dan adikku Fatih (2,5).

Sejenak kemudian, kurasakan darah mengalir deras dari luka-luka di kakiku. Kondisiku begitu lemah. Rasanya aku ingin berteriak, tapi sudah tak bertenaga lagi. Aku makin lunglai saat melihat teman-temanku juga bernasib sama denganku. Mereka merintih kesakitan dalam reruntuhan. Lama-kelamaan, rintihan itu hilang dan suasana jadi hening.

Ya Allah, bantu aku! Aku yang terkurung dalam reruntuhan berharap ada yang menolongku. Tuhan menjawab doaku. Tidak lama kemudian, dari celah-celah reruntuhan, beberapa orang yang tengah berupaya mencari korban, melihatku. Seseorang berteriak, "Ada anak yang masih hidup tertimpa beton!" Mereka berusaha mendekati untuk memberi pertolongan. Salah satu penolong adalah pamanku.

Paman memberiku minum dan minta aku tenang serta sabar. Aku pasrah dan hanya bisa terus berdoa memohon keselamatan. Beberapa saat kemudian, Papa datang. Papa terus menyemangati aku. "Yang, kuat, ya, Nak! Sabar!" Suasana tegang.

Kondisi reruntuhan sangat meng­khawatirkan. Tanpa peralatan memadai, pastilah sulit untuk menolongku. Lagi-lagi Papa minta aku bersabar. Papa mencari peralatan untuk menyingkirkan reruntuhan yang mengimpit kakiku. Beberapa saat kemudian, Papa kembali sambil membawa peralatan sederhana, seperti martil, linggis, dan tongkat-tongkat besi. Barulah aku berhasil diselamatkan.

Setelah itu, Papa langsung membopongku menuju mobil dan membawaku ke RS Tentara. Tiba di RS, aku langsung dibawa ke ruang operasi. Para ahli medis segera merawatku. Hari itu juga, aku mesti dioperasi. Pengaruh obat bius membuatku tak sadarkan diri.Henry Ismono / bersambung