Tabloidnova.com - Berita tentang kekerasan terhadap anak, beberapa bulan belakangan ini kian marak. Coba kita tengok beberapa bulan lalu ramai diberitakan orangtua yang tega menelantarkan dan melakukan kekerasan terhadap 5 anak kandungnya di Cibubur, Bekasi Selatan. Belum juga masalah ini tuntas di pengadilan, muncul lagi kasus menghebohkan di Bali yang sudah berminggu-minggu ini menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia.
Berita apa lagi kalau bukan kasus terbunuhnya si cantik bernasib malang, Engeline. Belakangan polisi juhga menetapkan sang ibu angkat bukan hanya sebagai tersangka penelantaran anak, tetapi juga terkait dengan tewasnya gadis cilik ini.
Yang juga sempat menghiasi halaman koran terbitan Jakarta adalah penganiayaan seorang bocah laki-laki oleh ibunya sendiri di Cipulir. Menurut keterangan beberapa saksi, penganiayaan itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Kini sang anak dalam perlindungan KPAI.
Baca: KPAI Dituduh menculik Bocah Korban Penganiayaan Ibunya
Maraknya kekerasan terhadap anak ini menyulut keprihatinan Fahira Idris, seorang aktivis antimiras yang juga anggota DPD utusan dari DKI. Menurut Uni, begitu wanita ini sering disapa, meski Indonesia sudah 13 tahun punya UU Perlindungan Anak, tapi pemahaman masyarakat atas UU ini sangat minim. "Masih banyak orangtua yang tak paham, bahwa ia melakukan kekerasan terhadap anaknya itu tindakan kriminal."
Yang memprihatinkan, hasil dialog dengan beberapa para orangtua yang kerap dilakukan, mereka sama seklai tidak tahu tentang UU Perlindungan Anak. Makanya, wajar jika kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak dengan berbagai macam cara meningkat tiap tahun.
Pelaku kekerasan terhadap anak itu biasnaya adalah orang-orang terdekatnya. Bagi seorang anak, lanjut Fahira, rumah seharusnya sebagai "surga" untuk tumbuh dan berkembang. Namun dalam beberapa kasus, rumah justru menjadi tempat untuk menyiksa anak. Dan celakanya lagi, ada keraguan dari masyarakat untuk melaporkan kekerasan itu ke pihak berwajib.
Kekerasan terhadap anak memang lebih banyak di wilayah privat sehingga tidak mudah tercium oleh pihak luar. Dan kekerasan itu kadang dicari pembenaran dengan dalih sebagai upaya menghukum anak atas perbuatan yang tidak disiplin atau melanggar aturan.
Tapi efektifkan menghukum anak dengan kekerasan? Alih-alih anak-anak menjadi disiplin. Yang justru terekam di benak sang anak adalah trauma dan dendam. Menghukum dengan membiarkan anak menonton teman lain bermain dengan asyik, sudah cukup memberinya hukuman pengalaman tak menyenangkan baginya. Cara ini bukan hanya efektif sebagai hukuman, tetapi juga memberi waktu kepada anak untuk merenungkan kesalahannya.