"Tawaran melatih banyak sekali, tapi saya lahir dan dibesarkan di Indonesia. Selain itu saya tak mau melupakan jasa PBSI," kata pria kelahiran Surabaya yang kini berbisnis peralatan bulutangkis bermerek Astech.
Alan menilai ke-3 anaknya merupakan bibit pemain bultangkis yang bagus. "Mereka gampang menyerap instruksi yang saya berikan," ujar Alan. Hanya saja, Alan tak ingin mereka menekuni bulutangkis sebagai profesi atau menjadi atlet nasional. Ada sejumlah alasan untuk itu. Pertama, "Mereka bermain bulutangkis untuk hobi dan olahraga. Kan, banyak anak-anak sekarang yang obesitas," katanya. Selain itu, Alan ingin anaknya fokus bersekolah untuk bekal di masa depan.
Alan menilai saat ini Indonesia belum bisa menjamin masa depan atletnya. Alan pun sempat merasakan sendiri masa depannya tak menentu, meski sudah mengharumkan nama bangsa.
"Saya butuh kepastian, dong. Apa yang bisa didapat (untuk masa depan, Red)? Saya tak mau hidup berandai-andai. Berharap dan menunggu adalah sesuatu yang enggak enak. Untuk itu, anak-anak fokus ke sekolah. Ilmu adalah bekal yang bisa dibawa seumur hidup. Jadi pegangan mereka," ujar Alan yang hanya lulus SMA. "Saya dulu sekolah asal naik kelas saja. Enggak mungkin (latihan bulutangkis) disambi," imbuhnya.
Kecewakah Alan? "Tidak bisa dibilang begitu. Saya hanya berhitung. Semua pilihan ada risikonya. Makanya saya memilih risiko yang paling rendah. Sekolah lebih besar kepastiannya," kata Alan lagi sambil menyebut mayoritas mantan pemain nasional lain pun mengambil langkah yang sama dengannya.
Pilihan untuk anak ini, kata Alan, didukung sang istri. "Apalagi Susi. Dia pasti enggak mau (anaknya menjadi pemain bulutangkis)," ujar Alan.
Cerita Alan, saat ini Susi sedang asyik dengan usaha message dan reflexiologi. Untuk bisnisnya itu di Jakarta Susi telah memiliki 6 outlet dengan 100 lebih karyawan. "Kami akan terus membuka usaha ini di tempat lain dan kami berkomitmen untuk berbisnis yang berhubungan dengan kesehatan," tutup Alan.Tarmizi