Mengenai kedekatannya itu Nia menyebut dirinya dan Ale adalah satu tim. Tak hanya di rumahtangga, tapi juga sebagai sineas. "Sebagai sebuah tim, kalau tidak ada salah satu di antara kami, maka akan 'pincang'," kata Nia yang memiliki rumah produksi Alenia bersama Ale.
Dengan komitmen seperti itu, tak heran Nia selalu siap sedia mengikuti syuting produksi Alenia yang kebanyakan di pelosok daerah. Seperti lokasi syuting Denias (Senandung di Atas Awan) di Papua, lokasi film King di Gunung Ijen (Banyuwangi) yang dingin, dan Tanah Air Beta di safana dan kamp pengungsi di Atambua yang panas. Dengan tempat yang seadanya itu, Nia pernah tidur di tenda yang kemudian banjir atau memakai WC ala kadarnya untuk buang hajat.
Nia tak kapok dengan keadaan itu. Malah ia memetik banyak pengalaman berharga dari melihat kehidupan masyarakat sekitar. "Seperti di tempat pengungsian ini (Atambua), aku melihat wanita-wanitanya tegar. Mereka super mom. Meski mereka mengalami banyak penderitaan, tapi mereka tak pernah mengeluh. Apa yang telah terjadi dihadapi," cerita Nia.
Dengan potret masyarakat di lokasi syuting itu, ada pelajaran yang Nia terapkan. Pertama, ia selalu bersyukur dengan apa yang diperolehnya selama ini. "Dapat kecil atau besar aku bersyukur," ucap Nia. Kedua, ia tak lagi melihat seseorang dari tampilan luar tapi dari dalam hatinya. "Ada yang terlihat sangar ternyata baik hatinya." Yang terakhir, Nia mendapat suntikan semangat hidup yang besar dalam memandang masa depannya.
Di luar urusan kerja, Nia-Ale punya kebiasaan menghabiskan waktu berdua saja sambil berleha-leha, makan atau jalan-jalan. Tak jarang pula mereka mengundang keponakannya untuk bercengkrama di rumah. Semua itu sudah cukup indah buat Nia.
Tarmizi