Karena letak asrama terlalu jauh dari kampus aku mencari apartemen. Supaya murah, aku patungan dengan seorang teman. Tapi ternyata banyak kesulitan yang kudapat. Suatu hari temanku pergi tanpa meninggalkan kunci. Aku menunggu lama di luar. Padahal suhu di luar minus 25 derajat Celcius. Terbayang, kan, betapa dinginnya.
Tinggal di Masjid Saat itu aku berpikir, kok aku sangat tergantung dengan temanku itu. Akhirnya dalam dingin yang menusuk tulang itu, aku berjalan menuju ke pom bensin terdekat. Aku menuju boks telepon koin dan memutar nomor informasi. Aku bertanya, di mana letak masjid yang paling besar di Kanada. Setelah diberi tahu alamatnya, aku langsung ke masjid tersebut.
Setiba di masjid aku ditanya oleh imam masjidnya, "Kamu tinggal di mana?" Ya, aku bilang untuk sementara waktu aku belum tahu mau tinggal di mana. Aku lalu minta izin agar boleh tinggal di sana. Beliau mengizinkan. Dan, ternyata lebih baik tinggal di masjid daripada aku harus tergantung teman.
Singkat cerita aku menjadi penjaga masjid. Pergi dan pulang kuliah ke masjid. Aku ikut membersihkan masjid dan menyiapkan segala persiapan untuk salat. Cukup lama juga aku tinggal di sana. Aku senang karena bisa belajar lebih dalam tentang Islam. Aku bisa berdiskusi dan membaca buku-buku Islam di perpustakaan.
Aku bersyukur Allah memberikan kemudahan padaku dalam menerima pelajaran. Tahun 2004 aku mampu menyelesaikan kuliah dalam waktu lima tahun setengah. Sebetulnya aku bisa selesai lebih cepat, tapi semua sirna karena aku sempat cuti setengah semester gara-gara tanganku patah saat pulang ke Yogyakarta. Kala itu aku bermain silat dengan teman yang sudah lebih jago. Aku terpelanting dan patah tangan.
Kalau orang lain merasa perlu mengikuti wisuda, sebaliknya aku tidak. Begitu kuliah selesai,aku pulang dan minta agar izasahku dikirimkan saja ke Indonesia. Oh ya, selama di Kanada aku pulang ke Indonesia cuma tiga kali, lo. Hebat, kan?
Erni Koesworini Foto: Fadoli Barbathully/NOVA, DOk. Pribadi