Noe Letto, Jadi Penjaga Masjid di Negeri Orang

By nova.id, Senin, 13 April 2009 | 02:17 WIB
Noe Letto Jadi Penjaga Masjid di Negeri Orang (nova.id)

Noe Letto Jadi Penjaga Masjid di Negeri Orang (nova.id)

""

Seperti aku ceritakan sebelumnya, sosok Ibu adalah tak terbantahkan. Beliau perempuan yang sangat disiplin. Demikian juga dalam menghadapi masalah pendidikanku.

Ibu tak ingin ada nilai merah dalam raportku. Kalau sampai ada nilai merah, Ibu tak mengizinkan aku meneruskan kuliah di luar negeri.

Karena takut pada ancaman Ibu, aku minta izin pada guruku untuk tidak masuk sekolah selama dua minggu. Aku bilang mau pergi ke Jakarta untuk belajar. Guruku terpaksa mengijinkan. Kalau toh tidak diijinkan aku tetap akan bolos sekolah. Guruku sudah hapal benar tabiatku. Kenapa kupilih Jakarta? Karena memang sejak dulu, kalau muncul niatku untuk serius belajar ya aku ke Jakarta.

Di rumahku di Jakarta aku masuk kamar selama dua minggu. Aku belajar terus. Setelah dua minggu, aku kembali ke Yogyakarta dan ikut ujian. Alhamdullilah, nilaiku bagus! Bahkan semua nilai di atas angka enam. Wah, legalah hatiku. Sudah terpenuhi syaratku untuk kuliah ke luar negeri ha ha ha.

Modal Nekat Untuk keperluanku ke luar negeri aku urus sendiri. Mulai dari paspor, surat-surat hingga barang-barang yang akan dibawa. Semula aku akan kuliah ke Australia. Ternyata ada informasi bahwa biaya di Kanada lebih murah. Akhirnya aku mencari kampus di Kanada. Aku menjatuhkan pilihan pada University of Albertha. Aku mengambil jurusan kimia dan matematika.

Bisa dibilang, modal nekat aku berangkat. Pokoknya pede saja. Doa ayah dan ibu mengiringi kepergianku. Setibanya di sana aku langsung menuju ke asrama. Beradaptasi dengan lingkungan baru dan yang terpenting, harus belajar berbahasa Inggris dengan baik.

Waduh, sempat aku tergagap-gagap. Aku kan bisa berbahasa Inggris hanya sepotong-sepotong. Setiap saat aku berusaha keras untuk belajar. Kupikir, aku harus cari cara bagaimana supaya cepat bisa berbahasa Inggris. Kuputuskan membeli radio, agar telingaku terbiasa mendengar suara orang berbahasa Inggris. Di kampus, teman-temanku kesulitan memanggil namaku Sabrang. Hingga lama-lama mereka memanggilku Noe. Bagus, juga, ya?

Karena letak asrama terlalu jauh dari kampus aku mencari apartemen. Supaya murah, aku patungan dengan seorang teman. Tapi ternyata banyak kesulitan yang kudapat. Suatu hari temanku pergi tanpa meninggalkan kunci. Aku menunggu lama di luar. Padahal suhu di luar minus 25 derajat Celcius. Terbayang, kan, betapa dinginnya.

Tinggal di Masjid Saat itu aku berpikir, kok aku sangat tergantung dengan temanku itu. Akhirnya dalam dingin yang menusuk tulang itu, aku berjalan menuju ke pom bensin terdekat. Aku menuju boks telepon koin dan memutar nomor informasi. Aku bertanya, di mana letak masjid yang paling besar di Kanada. Setelah diberi tahu alamatnya, aku langsung ke masjid tersebut.

Setiba di masjid aku ditanya oleh imam masjidnya, "Kamu tinggal di mana?" Ya, aku bilang untuk sementara waktu aku belum tahu mau tinggal di mana. Aku lalu minta izin agar boleh tinggal di sana. Beliau mengizinkan. Dan, ternyata lebih baik tinggal di masjid daripada aku harus tergantung teman.

Singkat cerita aku menjadi penjaga masjid. Pergi dan pulang kuliah ke masjid. Aku ikut membersihkan masjid dan menyiapkan segala persiapan untuk salat. Cukup lama juga aku tinggal di sana. Aku senang karena bisa belajar lebih dalam tentang Islam. Aku bisa berdiskusi dan membaca buku-buku Islam di perpustakaan.

Aku bersyukur Allah memberikan kemudahan padaku dalam menerima pelajaran. Tahun 2004 aku mampu menyelesaikan kuliah dalam waktu lima tahun setengah. Sebetulnya aku bisa selesai lebih cepat, tapi semua sirna karena aku sempat cuti setengah semester gara-gara tanganku patah saat pulang ke Yogyakarta. Kala itu aku bermain silat dengan teman yang sudah lebih jago. Aku terpelanting dan patah tangan.

Kalau orang lain merasa perlu mengikuti wisuda, sebaliknya aku tidak. Begitu kuliah selesai,aku pulang dan minta agar izasahku dikirimkan saja ke Indonesia. Oh ya, selama di Kanada aku pulang ke Indonesia cuma tiga kali, lo. Hebat, kan?

Erni Koesworini Foto: Fadoli Barbathully/NOVA, DOk. Pribadi