Syuting film baru berjalan empat hari pada bulan November ini di beberapa tempat, yakni di Wedi, Kabupaten Klaten; Colamadu, Kabupaten Karanganyar; dan Pasar Gede, Solo.
"Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa syuting film Lastri tak bisa dilanjutkan, karena ada kesalahpahaman yang tidak berdasar dari segelintir orang," kata Eros, saat jumpa pers di kantor Lembaga Sensor Film (LSF), Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Kamis (20/11).
Menurutnya tuduhan bahwa cerita film Lastri mengajarkan faham komunis dikarenakan Eros memakai buku karya Ita Fatia Nadia, berjudul Perempuan Korban Tragedi 65, sebagai salah satu refleksi dia menulis skenario.
Eros menyatakan, tuduhan tersebut tak punya landasan dan merugikan pihaknya secara materi maupun mental. "Kami tidak terima, karena tuduhan tersebut tergolong pencemaran nama baik," katanya.
Sementara Marcella mengatakan, film Lastri murni karya seni. Kebebasan berpikir dan berkarya tidak seharusnya terganggu oleh asumsi yang dibuat segelintir orang tanpa mengetahui isi filmnya. Karena merasa terancam, Marcella, Eros,dan segenap kru film kembali ke Jakarta.
"Karena merasa tidak aman, kami memutuskan kembali ke Jakarta, untuk melakukan proses hukum dan menyusun ulang rencana produksi. Kami akan mengendapkan dulu produksi film ini untuk sementara waktu," ujar Marcella.
Menurut Eros, LSF adalah instansi satu-satunya lembaga yang berwenang melarang sebuah film untuk diedarkan jika terbukti menyebarkan ajaran sesat. "Maka, kami nantinya akan melanjutkan produksi film ini," katanya.
Ketua LSF, Titi Said, menyatakan pihaknya tak punya hak melarang syuting sebuah film. "Kami baru menyensor, jika sebuah film sudah selesai. Saat ini, kami belum bisa berkomentar soal film itu," kata Titi. Eros mengaku kecewa, lantaran kebebasan berekpresi tidak terjamin di negeri ini. "Tidak ada jaminan keamanan dan ada ancaman pembubaran secara paksa di tengah jalannya syuting," ujarnya.
Padahal, jauh sebelum syuting, tepatnya 28 Agustus 2008, kuasa hukum Marcella, Minola Sebayang, sudah mengantongi surat izin dari Mabes Polri untuk melakukan syuting film ini. Surat izin ditembuskan ke Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta, Komisaris Besar Taufik Ansorie.
Tapi ujung-ujungnya, Ansorie ikut melarang syuting film Lastri, karena khawatir akan terjadi tindak kekerasan. "Padahal, surat izin ini tidak terlalu diperlukan, karena kita hanya syuting, bukan menggelar keramaian. Kami sekadar berjaga-jaga, tapi ternyata, polisi tidak mampu melindungi warganya yang melakukan kebenaran," kata Eros.
Film Lastri berlatar belakang kehidupan pada tahun 1965 setelah tragedi Gerakan 30 September skenarionya ditulis Erros Djarot. Film itu bercerita tentang cinta yang tidak bisa disatukan dalam ikatan perkawinan.
Dikisahkan, Lastri dan Ronggo, dua aktivis CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), terjerat asmara. Mereka terpisah, tak bisa menikah, lantaran dikejar-kejar Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ditugasi memberantas PKI dan antek-anteknya. Mengira Ronggo telah tertangkap dan dibunuh, Lastri menikah dengan perwira TNI agar selamat dari pengejaran. Intinya, film ini berkisah tentang kekuatan cinta.
Tokoh Lastri, bisa berarti Lastri sebagai gadis aktivitas CGMI, bisa juga dibaca sebagai Last RI. Maksudnya, apabila bangsa ini tidak bisa menjaga persatuan, maka inilah akhir dari RI. yus/wartakota
Foto : Widi Nugroho