Lingkungan yang perlu dijaga “kebersihannya” adalah rumah dan orang-orang terdekat. Siapa saja yang berada di sekitar anak? Kebiasaan macam apa yang dialaminya? Serta perlakuan seperti apa yang diterima permata hati kita?
Pada dasarnya, seperti yang disampaikan oleh Psikolog Anak Anna Surti, seorang anak rentan mendapatkan kekerasan dan penelantaran, termasuk ancaman yang sering dilakukan oleh banyak orangtua di Indonesia.
Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan yang banyak membuat orang ngeri ini bisa berawal dari hal yang sederhana. Membiarkan anak menyaksikan tontonan orang dewasa tanpa pengawasan adalah salah satunya. Tontonan itu bisa diperoleh anak dari televisi, layar lebar, hingga tab di tangan mungil mereka. Youtube sebagai contoh, menampilkan banyak gambar dan informasi yang perlu dipilah. Pada jenis tontonan yang bersifat parodi dan penuh gelak tawa, kadang terselip adegan dan ucapan yang belum pantas dilihat dan didengar anak-anak. Pembiaran yang kita lakukan, mendorong anak masuk lebih jauh dalam ranah yang belum pantas. Dan ini bisa disebut kekerasan seksual.
Hal sederhana lain adalah dengan membuka baju anak di muka umum. Akan ada nilai yang campur-aduk pada diri anak. Tubuhnya adalah “kastil” yang harus dijaga dan dilindungi, bukan untuk konsumsi publik. Kalimat, “Ah masih kecil ini,” akan membuat anak menganggap tubuhnya memang pantas dipertontonkan pada orang banyak.
Baca: Wajib Tahu, 6 Kriteria Anda Bisa Dijerat Kasus Penelantaran Anak
Kekerasan Emosional pada Anak
Kekerasan ini paling banyak dialami oleh anak-anak. Ancaman adalah salah satunya. Kita kerap mendengar seorang anak diancam, “Kalau makannya enggak habis nanti ditangkap Polisi.” Polisi diberi label mengerikan, tertancap dalam di pikiran anak. Dan tugas Polisi adalah menangkap anak-anak yang tidak mau makan. Belum lagi ancaman-ancaman yang melibatkan makhluk-makhluk gaib, “Jangan nakal! Awas nanti digondol wewe. Hiii!” Ancaman yang lengkap dengan, “Hiii,” agar unsur menakutkannya sempurna.
Kritik berlebihan, memarahi dengan nada tinggi beserta bentakan, mempermalukannya di muka teman-guru-keluarga besar, merusak barang-barangnya dengan sengaja, menyakiti hewan peliharaannya, membandingkannya dengan adik-kakak-teman-sepupu secara negatif, bertengkar hebat di depan anak, menunjukkan betapa tidak berharganya ia bagi kita, mendiamkan anak dalam jangka waktu yang terlalu lama, termasuk jarang memberinya pelukan, ciuman, belaian sebagai tanda sayang.
Penelantaran Fisik pada Anak
“Ma, aku lapar,” keluh anak. Mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu menjawab, “Iya, nanti”. Dan ‘nanti’ tak kunjung berakhir. Membiarkan anak “kelaparan” adalah salah satu bentuk penelantaran fisik. Segala hal yang berhubungan dengan pembiaran, menghasilkan penelantaran. Membiarkan pertanyaan anak tak terjawab karena kita asyik dengan gawai, termasuk penelantaran anak.
Apakah kita tahu persis siapa teman-teman dekatnya? Apa kebiasaannya di sekolah? Menyerahkan secara penuh pengasuhan anak kepada orang lain tanpa sungguh-sungguh mengetahui apa yang terjadi pada anak, ditegaskan oleh Anna Surti sebagai penelantaran anak.
Anak juga berhak terjaga kebersihannya dan mendapatkan sandang-pangan-papan yang cukup. Kebersihan tubuhnya mencakup dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Baca: Mari Renungkan, "Engeline" Mungkin Ada di Rumah Kita....
Penelantaran Medis pada Anak
Bila kita percaya bahwa vaksinasi adalah proses yang harus dilalui anak tapi tidak kita lakukan, maka ini bisa disebut sebagai penelantaran medis. Kondisi tidak sehat pada anak dibiarkan berlarut-larut hingga makin parah, juga masuk dalam kategori penelantaran medis.
Seorang anak berhak untuk sehat dengan dilakukan sejumlah tindakan preventif padanya.
Penelantaran Pendidikan pada Anak
Menyerahkan proses pendidikan kepada orang lain tanpa melakukan kontrol, atas nama percaya penuh, adalah penelantaran pendidikan anak. Kita harus tahu dengan jelas kemampuan anak, kesulitan dan kelebihannya, serta mencari tahu jalan keluarnya.
Membiarkan anak terlalu sering membolos juga termasuk penelantaran pendidikan. Pendidikan yang layak adalah hak anak. Kita harus menjaminkan anak mendapatkannya dengan sesuai.
Anak berhak mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan usianya. Misalnya, mengerti sopan santun yang cukup, tahu artinya kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya, mampu membereskan barang-barangnya sendiri.
Mari menjadi malaikat bagi anak-anak. Menjadi malaikat membutuhkan kesadaran. Menjadi serigala tak perlu modal apa-apa.
CANDRA WIDANARKO