Ustaz Zacky Mirza, Mantapkan Hati Untuk Syiar (2)

By nova.id, Sabtu, 22 Agustus 2015 | 02:31 WIB
Ustaz Zacky Mirza (nova.id)

einginan saya untuk belajar ke Mesir tak dapat dibendung lagi. Terlebih, kedua orangtua saya setuju. Tapi, musibah tidak bisa dihindari. Uang yang saya ambil dari salah satu bank dan akan saya tukarkan ke salah satu money changer di Jatinegara ternyata palsu. Saya lemas dan pasrah. Papa sempat marah. Kata beliau, terkadang saya memang harus ditemani untuk mengurus beberapa hal. Papa pun turun tangan dan akhirnya masalah ini terselesaikan. Saya bisa berangkat belajar ke Universitas Al-Azhar Fakultas Ushuluddin, Kairo, tahun 1999.

Selama empat tahun belajar di Kairo, saya mengalami banyak perubahan dalam hidup. Dua tahun pertama, saya mengikuti arus. Saya total belajar, bahkan penampilan saya berubah. Saya berjenggot dan mengenakan celana di atas tumit.

Tapi, entah kenapa, dua tahun menjalani kehidupan seperti itu saya merasa tidak menjadi diri sendiri. Saya merasa lelah. Saya merenungkan semua perubahan yang terjadi pada diri saya. Secara tidak sengaja, saya betemu salah seorang teman baru asal Mesir, namanya Mohammad Soleh. Dialah yang mengenalkan saya apa Islam sesungguhnya. Dia mengajak saya berdiskusi dan mengajarkan bahwa Islam itu tidak sesempit yang saya pikirkan. Dia paham betul mengenai sejarah, teologi, fiqih, tapi dia juga dapat berpenampilan modis dan modern. Soleh juga selalu mengajak saya berdiskusi perihal Islam rasional. Ia memiliki banyak buku-buku tentang Imam Syafii dan Imam Hanafi.

Saya kembali melakukan perenungan dan saya menyetujui semua pemikiran teman baru saya ini. Saya lebih bersyukur lagi karena saat bersama Soleh dan keluarganya, saya semakin aktif berbahasa Arab. Ya, dua tahun terakhir di Kairo, saya kembali mengubah penampilan dan pola pikir. Seperti Soleh, saya berpenampilan rapi, wangi dan modis. Janggut saya cukur habis dan tak pernah lagi mengenakan celana di atas tumit.

Saya mulai merasa sudah menjadi diri sendiri. Sayangnya, di Kairo berita selalu cepat tersebar. Ibarat jarum jatuh, semua langsung tahu. Perubahan sikap dan perilaku saya dianggap sebagai aib oleh teman-teman sekampung. Saya dianggap tidak serius dan menyia-nyiakan kepergian saya karena berubah dan terlihat lebih banyak bermain. Tapi saya benar-benar menikmati dan tidak merasa melakukan kesalahan ataupun aib seperti yang teman-teman terus bicarakan.

Sempat Prihatin

Setelah lulus, saya pulang ke Tanah Air tahun 2003. Saya makin tertarik dengan sastra, terlebih puisi. Saya akrab dengan Khalil Gibran dan Jalaluddin Rumi, dua penyair besar Islam. Memang, kebanyakan dari teman-teman yang pulang dari Kairo kemudian menjadi kyai ataupun pemimpin pesantren. Beda halnya dengan saya, saya memilih bekerja karena punya hobi berpetualang.

Saya memilih bekerja sebagai sales asuransi di bawah pimpinan seorang sahabat saya. Saya tidak pernah merasa malu bekerja karena saya mendapatkannya dengan cara yang halal dan tidak merepotkan orangtua. Selama enam bulan bekerja, saya menawarkan brosur asuransi ke beberapa pusat belanja modern seperti Mal Bekasi dan Mal Klender. Banyak cibiran yang saya terima. Bahkan ada keluarga yang bilang, percuma saya belajar jauh sampai ke Mesir kalau pekerjaan saya hanya menyebarkan brosur. Wah, memang menyakitkan, tapi saya yang lebih tahu dan saya enggak peduli. Saya hanya ingin bekerja dan cari uang.

Gaji saya saat itu hanya Rp700.000 sebulan, paling top bisa mengantongi uang Rp1 juta. Untuk menambah penghasilan, saya pun sempat berdagang seprai dan kaus di Pasar Tanah Abang. Hikmahnya saya punya banyak teman. Beberapa teman yang usahanya sukses kemudian saya ambil barangnya dan ikut menjualkan. Banyak pengalaman yang saya dapat saat harus berdagang seperti ini. Walaupun orangtua saya punya kontrakan, tanah dan showroom mobil, tapi saya tetap ingin mandiri dan maju dengan keringat saya sendiri.

Saya ingat betul, saya buatkan boks di belakang sepeda motor untuk mengangkut barang dagangan. Bahkan saking prihatinnya, untuk makan saja saya harus mengirit. Jadi, saat makan siang tiba, saya selalu memilih warteg yang murah. Tidak lupa saya minta nasinya dibanyakin. He he. Jadilah, saya makan nasi dan lauk kering separuh. Separuh lagi saya minta orang warteg menyimpan. Sore harinya, saya kembali ke warteg dan makan separuh lauk tadi. Jadi, saya tahu betul bagaimana rasanya menjadi orang susah, sehingga saya selalu ingat bagaimana cara bersyukur.

Mulai Mapan

Saya meyakini betul bahwa Allah itu baik dan rezeki datang tanpa pernah diduga. Saat usai melakukan prospek ke salah satu nasabah elit, saya diminta ikut salat Magrib berjamaah bersama keluarganya. Ustaz yang biasanya datang ternyata tidak bisa hadir. Saya pun diminta menggantikan. Saat itu saya menyanggupi dan memimpin salat Magrib nasabah ini.

Usai salat, beliau mengungkapkan keheranannya. Beliau kaget mendengar semua bacaan salat saya. Saya pun bercerita bahwa saya pernah belajar ke Kairo. Akhirnya, saya diminta mengajar mengaji dan bahasa Arab kepada keluarganya secara privat.

Beruntung, nasabah saya ini ternyata punya bisnis travel umrah. Saya pun kemudian diajak bekerja di bagian ticketing selama 3 bulan. Oleh beliau, saya dipanggil mulai dari “Mas” hingga “Pak Ustaz.” Ha ha. Saya juga menjadi tour guide kalau ada tamu dari Timur Tengah. Melihat kesuksesan bisnis beliau, saya pun tertarik mengambil kelas bisnis. Saya memutuskan kuliah agama khusus entrepreneur di STAI Darunnajah (STAIDA). Saya bekerja dari pagi hingga sore, kemudian sore hingga malam harinya kuliah bisnis sampai selesai.

Lagi-lagi, rezeki menghampiri saya. Bos memberi informasi dan saran. Menurut beliau, saya punya kemampuan yang lebih dan sebaiknya mengikuti tes di sebuah maskapai penerbangan internasional, Saudi Airlines. Melihat potensi dan peluang, saya mengikuti sarannya. Tanpa jalur titipan, saya bersaing dengan 500 pelamar lain. Akhirnya saya termasuk 15 orang pilihan yang diterima.

Setelah bekerja di Saudi Airlines, kondisi ekonomi saya semakin membaik. Saya ditempatkan di Jeddah dan Madinah selama tiga bulan. Mama ikut senang dan tak lagi mengkhawatirkan keadaan saya. Saya pun mulai bisa membuktikan kepada teman-teman di Mesir bahwa saya bisa berhasil dengan cara saya sendiri. Bayangkan, saat musim haji tiba, saya mengenakan jas dan dasi, sedangkan teman-teman saya masih membawa jamaah. Saat itu saya merasa memiliki nilai lebih.

Sayangnya, saya bekerja tidak lama di Saudi Airlines. Banyak gesekan, sementara saya tidak memiliki kekuatan karena bukan orang titipan. Akhirnya saya pulang ke Jakarta dan memilih bekerja di jasa ground handling bandara tahun 2003 hingga 2004. Waktu berjalan, karier saya juga cukup baik, bahkan mendapat jabatan sebagai senior supervisor dengan gaji dua digit. Saya juga bisa membeli mobil.

Ikut Audisi

Ketika saya mulai menyenangi rutinitas dan ritme bekerja serta hasil yang mulai tampak, tahun 2005 mama melihat audisi dai di salah satu stasiun teve. Saya pun dipaksa untuk mendaftar. Agar mama senang, saya pun menuruti dan mengambil cuti sehari untuk mengikuti audisi di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur.

Ternyata, jumlah peserta audisi lumayan banyak, 1.700 peserta. Saya sendiri tak sabar menunggu waktu untuk tampil beraudisi. Dari pagi hingga sore, saya menunggu giliran sambil tiduran di masjid. Setelah giliran saya tiba, saya sangat bersemangat. Berbekal doa ibu dan pengalaman pidato saat sekolah, saya berceramah menggunakan tiga bahasa dengan lancar. Seingat saya, waktu itu saya membawakan materi tentang anjuran hidup mandiri dalam Islam.

Saya ikut karantina selama enam bulan, padahal saya hanya bisa mengambil cuti selama tiga bulan. Jadi setelah cuti tiga bulan habis, kantor meminta saya mengambil keputusan. Apakah meneruskan pekerjaan atau memilih menjadi ustaz dan meneruskan karantina. Alhamdulillah, saya merasa nyaman dan menemukan dunia saya. Akhirnya saya resign dari kantor dan meneruskan karantina sampai selesai. Alhamdulillah, saya akhirnya terpilih menjadi 5 besar dalam kompetisi dai yang saat itu tengah mencuri perhatian banyak orang.

Kali ini, saya mantap dengan pilihan mengabdikan diri untuk syiar agama Islam. Sepertinya ini menjadi panggilan. Saya pun melakukannya dengan hati lapang. Setelah masuk sebagai 5 besar dai pilihan, saya masih harus mempromosikan diri. Saya pun memulai dari awal lagi, seperti menulis di media atau tampil sebagai narasumber. Saya juga menghubungi teman-teman kampus yang bekerja di media. Saya juga pernah tampil live di salah satu radio menjelang buka puasa dan dibayar Rp150.000 setiap siaran.

Bang Zeck

Teman-teman pemenang kompetisi dai yang lain pelan-pelan namanya mulai naik. Saya masih khusnudzon sama Allah, mungkin belum tiba waktunya. Tahun 2012, Ustaz Solmet mulai dikenal. Saya sih ikut senang dan selalu berusaha memperbaiki dakwah, penampilan dan pergaulan saya. Saya mulai mengenalkan diri sebagai Bang Zeck.

Akhirnya, waktu itu pun datang juga. Saya mulai dipercaya tampil di media. Awalnya stasiun O Channel untuk program Mata Hati selama 30 episode. Saya kemudian kenal dengan Uje dan banyak dibantu. Saya juga berkesempatan menggantikan Ustaz Solmet dalam program yang mengajak saya berkeliling dunia.

Alhamdulillah, semua cita-cita saya di dunia dakwah hampir kesampaian. Sejak itu mulai banyak tawaran yang datang. Tapi, saya justru makin banyak ngerem biar enggak merasa lebih dan berhati-hati. Dikenal dan tayang di beberapa media itu bonus, bukan tujuan. Saya hanya ingin membagikan simbol kebaikan lewat medianya. Jadi saya enggak terlalu ngoyo. Hingga tiga tahun terakhir.

Berbagai Bisnis

Saya punya prinsip, keberkahan itu bukan sekedar sukses. Saya enggak boleh parkir di titik sukses tapi berkah. Kalau mau, semua bisa saya dapatkan tapi saya punya prioritas lain. Rumah sekadarnya, mobil sesuai fungsi dan uang yang saya punya bisa berkah untuk orangtua, keluarga, dan teman. Seperti manusia lain, saya pun pernah mengalami kegagalan dan itu tak pernah saya tutupin.

Sebelum menikah dengan pesinetron Shinta Tandjung (Thata) tahun 2011, saya pernah gagal berumah tangga. Bersama pasangan terdahulu, saya dikarunia satu putri yang kini sudah duduk di kelas 4 SD. Begitu pula dengan Thata yang juga pernah gagal dalam rumah tangga dan memiliki satu putra.

Pertemuan saya dengan Thata begitu singkat, kami sama-sama tengah merintis usaha. Alhamdulillah, sejak menikah hingga sekarang kami masih saling mendukung. Semua ini tak lepas dari orangtua yang tak lelah mendoakan anaknya.

Bersama Thata, saya dikaruniai dua putri kecil yang cantik serta calon jagoan yang akan segera lahir. Jadi, saya diamanahkan 5 orang anak. Memang kalau ditanya, saya selalu bilang punya lima anak, dua ada di rumah neneknya. Sudah saatnya saya terbuka dan menceritakan ini karena sumbernya langsung dari saya, bukan dari orang lain.

Jadi, kalau ada teman yang punya masalah dengan rumah tangga mereka, saya bisa memahami karena saya pernah mengalami. Yang jelas saya merasa kini menjalani hidup apa adanya. Alhamdulillah, usaha bisnis travel Alia Wisata juga terus berkembang. Dulu, saya bekerja sama sebagai brand ambassador dan dianggap sebagai anak dan keluarga oleh pemilik. Jadi, saya pun bersemangat ikut membesarkan usaha tersebut.

Sekarang, dalam seminggu ada 3 kali keberangkatan umrah. Adik-adik saya juga sudah bisa mandiri, beberapa ada yang bekerja dengan saya. Usaha lain seperti bisnis pakaian bekerja sama dengan brand besar muslim seperti Albis dan April juga tengah saya rintis. Bisnis sebagai agen minuman kemasan juga menjadi pilihan saya.

Alhamdulillah, saya bersyukur bisa hidup nyaman. Saya bisa berkali-kali memberangkatkan orangtua dan adik-adik umrah. Saya sudah cape memikirkan urusan duniawi. Saya merasakan betul dan menjalani kehidupan dari susah. Makanya saya tidak memikirkan imej. Selebihnya saya bisa membaginya untuk yang lain. Sekarang, saya menikmati hidup dan berdakwah, menjaga kesehatan dan menyenangkan hati orangtua. Enggak neko-neko. Semoga saya bisa istiqomah.

Swita Amallia