Ustaz Zacky Mirza, Mejeng Pakai Mobil Dagangan (1)

By Dok Grid, Minggu, 16 Agustus 2015 | 00:00 WIB
Ustaz Zacky Mirza (Nova)

Saat menginjakkan kaki di bangku Aliyah, saya masih hobi ikut lomba pidato. Kebetulan, saya punya geng yang terdiri dari empat sahabat. Kerjaan kami saat liburan tiba: ngegembel. Maksudnya backpacker-an, bepergian bergantian ke kampung halaman kami masing-masing. Saya inget banget, saat liburan dan giliran ke tempat saya, saya mengajak geng saya mengunjungi nenek di Sukabumi biar lebih terasa perjalanannya. Dan setiap traveling, biarpun kami sudah diberi uang oleh orangtua, kami masih mencari uang bersama. Misalnya menjual fotokopian buku, hasilnya dibagi 4. Lama-lama saya menyukai hobi baru ini dan bercita-cita bisa keliling dunia.

Sayangnya, saya hanya bisa traveling bersama teman-teman hingga kelas 2 SMA. Sejak duduk di kelas 3, saya dimasukkan ke kelas IPA dan harus fokus, enggak boleh ke mana-mana. Sebenarnya saya sendiri lebih memilih masuk kelas IPS karena lebih suka hapalan, tapi karena kuota kelas IPA kurang, saya akhirnya diminta mengisi.

Dan benar saja, saya enggak bisa fokus karena memang enggak suka pelajaran sains. Bete rasanya belajar hal-hal yang tidak saya sukai. Ya, lebih untuk menyenangkan hati orangtua saja. Ada pengalaman lucu yang tak bisa saya lupakan ketika mau lulus dari Aliyah. Dulu sering kita dengar kalau lulusan pesantren itu biasanya punya ilmu kebal. Nah, saya dan teman-teman lain pengin punya ilmu kebal itu. Apalagi ada teman yang mengajak bertemu orang yang bisa mengisi ilmu kebal di Banten. Berbekal uang seadanya, kami bersepuluh izin keluar pondok dengan alasan pergi ke puncak untuk studi banding.

Dengan penuh semangat, kami naik kereta api menuju Banten, tempat guru yang katanya bisa mengisi ilmu kebal tadi. Di tengah perjalanan, teman yang merekomendasikan guru ini bercerita bahwa si guru ini enggak bisa mati padahal sudah pernah ditembak. Wah, kami semua semakin takjub, enggak sabar ingin bertemu dan mendapatkan ilmu kebal. Eh, sesampai di rumah guru tersebut, istrinya menjelaskan bahwa ternyata suaminya telah meninggal beberapa minggu lalu.

Masih penasaran, salah seorang teman bertanya, bapak itu meninggal karena apa? Sang istri pun menjelaskan bahwa suaminya meninggal secara tidak sengaja. Saat naik pohon kelapa, kata istriya, kalung yang ia kenakan tersangkut dan membuatnya terjerat. Ia kemudian hilang keseimbangan dan jatuh dari pohon kelapa. Kami semua terbengong-bengong dan berusaha menahan tawa.

Ya sudah, akhirnya kami segera pulang ke pondok dengan tangan hampa. Sepanjang perjalanan, kami semua enggak bisa menahan tawa. Apesnya lagi, saat tiba di pondok, kami ketahuan berbohong dan kena hukuman dari kyai. Kami bersepuluh akhirnya dihukum digundul dan menjadi bahan tertawaan teman-teman. Ha ha ha.

Rajin Ikut Demo

Alhamdulillah, setelah menyelesaikan Madrasah Aliyah di pondok pesantren, saya memutuskan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Bedanya, teman-teman pondok memilih masuk UIN sedangkan saya justru memilih UNAS dan mengambil jurusan Hubungan Internasional. Niatnya, agar saya bisa sering traveling dan menjadi duta besar atau bekerja di departemen luar negeri.

Tepatnya tahun 1997, saya memulai status sebagai mahasiswa dan menikmati Ospek yang saat itu cukup berat. O iya, saya masih tertarik mengembangkan penguasaan bahasa yang saya miliki. Akhirnya, saya rajin ikut kompetisi debat dan sempat terpilih menjadi mahasiswa terbaik di kampus untuk ajang debat.

Saya juga mulai aktif mengikuti berbagai organisasi seperti ALDERA (Aliansi Demokrasi Rakyat) dan FORKOT (Forum Kota). Jadi, kebanyakan saya justru menjadi aktivis daripada masuk kuliah. Ha ha ha. Apalagi saat itu tengah banyak gerakan di kampus. Saya juga memilih ngekos dekat kampus, jadi saat rapat konsolidasi dan rapat demo bisa bergabung. Penampilan saya waktu itu gondrong pakai jeans bolong-bolong. Pokoknya jauh berbeda dari potongan anak pesantren lah. He he he.

Lucunya, saat siap melakukan demo reformasi di tahun 1998, saya malah disuruh ikut naik haji sama papa. Kebetulan beliau mendapat rezeki dan kembali berhaji membawa jamaah. Banyak teman-teman organisasi yang bengong waktu saya bilang saya harus menunaikan ibadah haji dulu dan kembali bergabung setelah pulang ke Tanah Air.

Teman-teman kampus memang jarang yang tahu kalau saya lulusan pondok pesantren. Jadi, banyak yang enggak percaya. Saya pun berangkat selama 40 hari bersama jamaah papa. Ketika pulang ke Tanah Air, bukannya saya menghabiskan waktu di rumah, malah langsung ikut demo. Padahal, kalau orang Betawi, harusnya 40 hari enggak boleh keluar rumah. Ini saya baru tiga hari sampai, langsung ikut demo besar-besaran menduduki gedung MPR bersama teman-teman organisasi. Jadi, saya pernah punya pengalaman jadi aktivis jadi-jadian. Ha ha ha.