BRAy. Hj. Nuraida Joyokusumo, Sejak Remaja Inginkan Putra Raja

By nova.id, Sabtu, 19 September 2015 | 03:36 WIB
Bray Hj Ida Joyokusumo E (nova.id)

Asam di gunung garam di laut, bertemu di belanga. Begitulah perjalanan cinta BRAy. Hj. Nuraida dengan GBPH H. Joyokusumo dari keraton Yogyakarta. Nuraida adalah pemilik Gadri Resto di Keraton Yogyakarta, tepatnya di sebelah barat keraton dan juga penulis buku resep kue dan kuliner khas keraton Yogyakarta. Perempuan asli Balikpapan, Kaltim, ini awalnya tidak tahu pria yang naksir dirinya adalah seorang pangeran, putra raja Sri Sultan HB IX. Padahal sejak SMP Nuraida sempat berkeinginan menjadi menantu raja.

Lebih dari 30 tahun saya mendampingi Gusti Joyokusumo sebagai istri. Sejak pernikahan di tahun 1982, kami dikaruniai 2 puteri dan satu putera, yakni RAj. Nurhandani Jayaningrum (32), RM Soemyandarto/KRT Jayaningrat (28), dan RAj. Cintya Paramastri Jayaningtyas (22).

Meski menjadi istri seorang pangeran, tetapi saya memilih tidak saja berperan sebagai ibu yang mengasuh anak-anak melainkan juga bekerja menghasilkan uang sendiri dengan membuka restoran Gadri Resto di Jalan Rotowijayan, Yogya. Tepatnya di sebelah barat keraton.

Selain membuka restoran, saya juga menulis buku resep kue dan kuliner khas keraton Yogya. Semua resep yang saya tulis adalah kuliner kesukaan Sultan HB VIII dan HB IX. Buku pertama saya tentang resep kue, sementara yang kedua kuliner Masakan Keraton. Dua-duanya sudah dicetak ulang. Kalau tidak salah hingga lima kali. Semuanya terjual habis. Sebab tamu-tamu saya dari berbagai negara meminati buku tersebut untuk dipraktikkan atau sebagai suvenir. Bahkan mantan Presiden Megawati saja ingin memiliki. Sayangnya saya sudah tidak pegang satu eksemplar pun!

Biasa Dagang

Jauh sebelum disunting oleh Gusti Joyokusumo, saya hanyalah gadis biasa yang tumbuh dan berkembang di kota kelahiran saya, Balikpapan, Kaltim. Saya lahir 4 Oktober 1961 dari rahim ibu Hj. Siti Asma yang sehari-hari berdagang baju di toko, sementara ayah saya, H. Abdul Kadir Hasan, bekerja di Pertamina. Beliau keturunan Bugis, sedang ibu masih memiliki darah keturunan Solo.

Sebagai anak nomor 2 dari 10 bersaudara, saya ditugasi bersih-bersih rumah dan mencuci. Asal tahu saja, rumah saya ada 3 tingkat dan menghadap ke laut. Terbayang betapa melelahkannya, kan? Tapi karena terbiasa, saya tidak merasa capek apalagi mengeluh.

Selain bersih-bersih rumah, sepulang sekolah saya diberi tugas tambahan menagih uang ke pedagang-pedagang yang mengambil dagangan dari ibu. Begitulah tiap hari saya bisa membawa pulang uang yang sangat banyak, lantaran yang ditagih juga banyak. Pun begitu, saya tidak pernah membawa catatan. Besarnya setoran hanya saya ingat berdasar urutan rumah atau toko. Entah ada hubungannya atau tidak, tetapi nilai pelajaran matematika saya selalu baik.

Hingga duduk di bangku SLTA, saya dua kali sekolah. Pagi ke sekolah biasa, sorenya wajib ke madrasah. Itu pendidikan wajib untuk semua anak di keluarga saya. Kadang masih ditambah mengaji di malam hari.

Karena terbiasa membantu ibu dagang, lambat laun tumbuh bakat dagang saya. Ceritanya, zaman dulu orang yang memiliki televisi kan sedikit. Jadi banyak orang kampung yang numpang nonton televisi di rumah saya. Karena anak-anak banyak, rumah saya jadi kotor. Padahal saya yang ditugasi membersihkan rumah.

Dari sana timbul akal, saya jualan permen pada penonton televisi di rumah. Modalnya saya kumpulkan dari uang jajan. Dari sekadar permen, berkembang ke dagangan lainnya. Begitu larisnya dagangan sampai saya beranikan diri memberi hadiah sepeda, lo. Ya begitulah, saya tumbuh dan berkembang sebagai anak yang agak berbeda dari teman sebaya saya.

Satu hal yang sampai kini tidak pernah terlupakan, ketika duduk di bangku SMP, berita tentang artis Ida Royani yang disunting putra Sultan Pahang, Malaysia, santer terdengar hingga ke telinga saya. Karena itu, pada teman-teman saya katakan, “Besok suami saya juga anak raja.” Ah, siapa sangka sekian tahun kemudian ucapan saya menjadi kenyataan. Karena itu saya lalu berhati-hati dalam berucap. Takut kalau buruk jadi kenyataan. Seringkali perkataan adalah doa.

Lulus SMP, saya masuk SMEAN I Balikpapan. Mulailah saya senang kegiatan yang berbau keriaan. Misalnya ikut kegiatan grup nyanyi, fashion show, dan menjadi anggota Paskibraka tingkat kota Balikpapan. Asal tahu saja, saya keluar rumah sesudah selesai dengan tugas rumah dan sekolah. Juga pamit ayah meski beliau tidak tahu apa yang saya perbuat di luar rumah.

Lewat kegiatan “hura-hura” itulah saya sering mendapat uang jajan dari yang mengajak kegiatan. Pendek kata saya aktif dengan kegiatan-kegiatan positif, apalagi yang menghasilkan uang.

Didekati Pangeran

Lulus SMEA tahun 1980, saya meluncur ke Yogya. Tujuannya mendaftar di Akademi Sekretaris Indonesia (ASMI) karena basic saya kan SMEA. Lagi-lagi, sebagai mahasiswa saya sering diajak orang untuk aktif di berbagai kegiatan. Hampir semua kegiatan yang saya ikuti menghasilkan uang. Misalnya, diajak Tuti, teman saya yang tinggal di Malioboro untuk bergabung dengan PAMPI. Karena itu saya sering diajak fashion show.

Di bidang akademis, beberapa kali saya keluar sebagai jawara menulis steno. Karena itu bila ada perusahaan besar mengadakan kegiatan di Yogya dan membutuhkan sekretaris, sayalah yang dipilih. Dari seringnya ikut kegiatan perusahaan besar, teman saya bertambah banyak.

Ketika Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang berafiliasi ke Partai GOLKAR mengadakan acara di Yogya, saya juga ikut terlibat hingga beberapa hari. Ceritanya, saya diajak teman membantu kelancaran acara dimana Gusti Joyokusumo menjadi ketua panitianya. Nah, di sela-sela acara, saya dan teman-teman berikut para aktivis SOKSI sering berbincang santai membicarakan banyak hal.

Suatu kali, Gusti Joyokusumo bergabung ikut berbincang. Di sanalah kami dikenalkan. Saya tidak tahu beliau itu siapa, lantaran teman-teman memanggilnya Mas Joyo. Karena itu dalam bersikap dan bertutur kata terhadap Gusti Joyo, ya, santai saja seperti saya berbincang dengan teman lainnya.

Yang aneh, tiap kali Gusti Joyo bergabung, satu-per satu teman-teman meningalkan kami. Saya cuma membatin kenapa mereka bersikap seperti itu?

“Sudah punya pacar?” tanya Gusti Joyo dalam satu kesempatan. Saya jawab, “Sudah.” Kala itu saya memang sudah punya pacar yang memenuhi kriteria saya. Salah satunya orangnya cerdas sekali.

Dalam satu perbincangan, saya tanya ke Gusti Joyo di mana rumahnya? “Di Rotowijayan”, jawabnya singkat. Saya mengangguk saja lantaran tidak tahu Jl. Rotowijayan itu di mana. He he he. Sampai di sini, saya benar-benar tidak tahu kalau beliau adalah salah seorang putera Sultan HB IX dan tinggal di keraton sampai akhirnya seorang teman memberitahuku identitas Mas Joyo yang sebenarnya.

Tapi, berakhirnya acara itu bukan berarti upaya pendekatan Gusti Joyo berakhir. Meski saya sudah bilang punya kekasih, beliau tetap datang ke rumah kos saya. Apa boleh buat, terpaksa saya suruh pulang setelah saya beri penjelasan dan pengertian agar tidak menyakiti perasan kekasih saya.

Luar biasa. Gusti Joyo bisa mengerti. Tetapi Gusti Joyo tak menghentikan niatnya mendekati saya. Dan dengan berbagai cara pula saya masih berusaha teguh dengan pilihan saya. Hingga suatu kali ketika ada famili saya meninggal dunia, saya pun pulang ke Balikpapan.

Siapa sangka, Gusti Joyo ternyata juga datang ke Balikpapan. Itulah pertama kalinya beliau ke Balikpapan. Tentu saja saya kenalkan kepada orangtua saya.

Pindah ke Lain Hati

Niat saya membina rumah tangga dengan kekasih saya rasanya makin jauh dari kenyataan. Pasalnya bila kami punya masalah, tidak langsung diselesaikan sendiri, melainkan oleh kekasih saya justru di-curhatkan ke kakaknya. Sementara Gusti Joyo semakin gencar dan lebih mudah komunikasinya. Keseriusannya makin ditunjukkan, bukan hanya pada saya, melainkan juga kepada kedua orangtua saya.

Berawal dari sanalah, keteguhan saya mulai goyah. Mungkin juga sudah takdir Allah, keteguhan hati saya runtuh. Saya pun pindah ke lain hati. Bersyukurnya, ketika saya dikenalkan Gusti Joyo kepada ayahandanya, Sri Sultan HB IX, di kediamannya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, saya diterima dengan baik, bahkan diajak berbincang banyak hal.

Mungkin karena saya bukan perempuan Jawa, maka banyak hal juga ingin saya ketahui. Tak sungkan saya juga mengajukan banyak pertanyaan. Misalnya soal foto-foto yang terpampang di dinding. Hebatnya beliau dengan senang hati memberi penjelasan.

Setelah benar-benar dekat dengan Mas Joyo, saya juga jadi tahu bahwa beliau adalah putra bungsu Sultan HB IX yang terlahir dari Ibu KRAy. Windyaningrum (Ray. Adipati Anum - Red.). Sayangnya, kala itu saya juga tidak bisa berkenalan lantaran Ibu Windyan sudah meninggal lebih dulu.

Rini Sulistyati/NOVA