Hubungan saya dengan Gusti Joyo semakin dekat manakala beliau merekrut saya sebagai sekretaris di perusahaannya. Kala itu beliau memiliki usaha kontraktor gedung dan pembuatan jalan raya. Mendengar saya jago steno dan memiliki ilmu kesekretariatan, beliau pun merekrut saya.
Dan akhirnya, takdir Allah membawa saya menjadi menantu Sri Sultan HB IX. Tahun 1982, saya resmi menjadi istri Mas Joyo. Kami menikah secara bersamaan dengan putra Sultan HB IX dari lain ibu, antara lain GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat.
Aturannya, setelah menikah putra raja harus meninggalkan Gedong Kasatriyan, tempat tinggal mereka sejak kecil. Dan kami pun sudah siap hidup di luar tembok keraton karena Mas Joyo sudah menyiapkan rumah buat kami. Namun, jabatan dan tugas Mas Joyo di keraton rupanya menuntut beliau harus tetap dekat dengan Ngarso Dalem. Karena itu kami harus tetap tinggal di keraton.
Kami pun tinggal di Tamanan. Lokasinya di seputar Keraton Kilen, kediaman Sultan HB X yang sekarang.
Hingga enam tahun lamanya kami tinggal di sana. Sebagai pengageng atau pejabat tinggi di keraton, suami saya tidak pernah sekalimat pun meminta “rumah dinas” sebagai pejabat keraton. Sampai suatu saat turun surat dari Sultan HB IX yang memerintahkan agar kami tinggal di Dalem Bintaran yang sekarang kami tempati.
Saat diperintahkan tinggal di rumah yang sekarang kami tempati, saya dan Mas Joyo sempat “menawar” kepada Ngarso Dalem Sultan HB IX, boleh tidak rumah itu juga difungsikan sebagai restoran untuk menunjang pariwisata. Sebab, kalau sekadar sebagai tempat tinggal, rasanya berat biaya perawatannya. “Coba saja tiga bulan,” titah Ngarso Dalem saat itu.
Gadri Resto
Begitulah, rumah itu kemudian kami renovasi lalu kami tempati. Orang lalu menyebutnya sebagai Ndalem Joyokusuman karena penghuninya adalah GBPH Joyokusumo. Di sini kami membuka restoran sekaligus museum dengan nama Prince Joyokusumo’s House. Segala isi benda di rumah ini sebagian besar adalah benda kuno dan pusaka. Pernak-perniknya saya tata sendiri dengan menyesuaikan konsep rumah Jawa.
Alhamdulillah, banyak berkah di rumah ini. Ada teman yang menyumbang ubin motif kuno seperti yang terpasang di keraton, juga lampu-lampu kristal.
Dalam perkembangannya, nama Prince Joyokusumo’s House kami ganti menjadi Gadri Resto. Gadri adalah konsep ke-6 dalam arsitektur rumah Jawa. Ia adalah bagian dari rumah tradisional Jawa yang berfungsi sebagai dapur, ruang makan, ruang keluarga, dan tempat pemilik rumah menikmati segala benda kesayangan atau piaraannya.
Kini, Gadri Resto merupakan restoran yang dilengkapi museum. Ya, selain berfungsi sebagai rumah tinggal, juga terdapat museum. Asal tahu saja, salah satu kamar di rumah itu merupakan tempat lahirnya Sri Sultan HB X. Di belakang, kami juga menyimpan seperangkat gamelan slendro Kyai Retno Puspo peninggalan Sultan HB II. Setengah perangkat gamelan itu dibawa kaum penjajah ke Inggris dan kini berada di Museum Raffles, Inggris.
Lewat Gadri Resto kami mencoba mengenalkan kebudayaan Jawa. Sebab budaya dan makanan di rumah kami adalah satu kesatuan. Tokoh-tokoh dunia, mulai presiden hingga artis, pernah singgah dan bersantap sembari menyaksikan kesenian tari Jawa klasik di sini. Misalnya Paus Yohanes Paulus II dan aktor laga Steven Seagal.
Bisnis restoran ini sejak awal saya kemudikan sendiri. Suami tidak ikut-ikutan karena beliau sendiri kala itu sudah sibuk sebagai anggota dewan, Ketua Fraksi DPR, dan masih harus menjalankan tugas di keraton.
Hingga saat ini kami tidak pernah pasang iklan, tapi pelanggan terus saja berdatangan. Jarang yang datang sekali. Yang dari luar negeri pun memberi rekomedasi kepada teman-temannya.
Tak sedikit tamu yang puas dengan layanan kami yang kemudian mengundang saya berkunjung ke negaranya secara gratis. Makanya, saya sering bepergian ke luar negeri memenuhi undangan mereka. Oh iya, semasa masih hidup, ayah mertua ternyata diam-diam juga gencar mempromosikan restoran kami yang kala itu baru buka. Info ini baru kami ketahui setelah beliau mangkat. Tamu-tamulah yang bercerita pada saya.
Menulis Buku
Saya merasa, semua resep keraton harus terdokumentasikan dengan baik. Awalnya, saya hanya bermaksud merekonstruksi kuliner kesukaan Sultan HB IX agar bisa menyajikannya ke hadapan beliau. Saya sangat terkesan melihat istri-istri Sultan HB IX menghidangkan lauk berbeda dengan piring yang berbeda pula ke hadapan Ngarso Dalem HB IX saat pulang ke keraton.
Namun, setelah ibu mertua saya almarhum, tidak ada lagi hidangan buat Ngarso Dalem. Karena itu saya ingin “mewakili” lewat masakan saya dengan wadah piring berwarna cokelat yang dulu pernah dihadirkan ibu mertua ke hadapan HB IX. Dibantu beberapa abdi dalem, saya pun bekerja keras merekonstruksi dan mempraktikkan resep yang sudah ada. Akhirnya, saya berhasil, lalu suatu kali hidangan itu saya bawa ke hadapan Ngarso Dalem HB IX. Ternyata, hidangan saya dicicipi Sultan HB IX. Bahkan beliau sempat bertanya siapa yang memasak? Dari sana, saya beranikan diri membuka restoran hidangan khas keraton.
Saya juga mendapat tawaran membukukan resep-resep kuliner khas keraton. Kini, sudah ada dua buku yang saya buat, yakni tentang kue dan kuliner kesukaan Sultan HB IX. Tamu-tamu dari berbagai negara juga memburu buku resep yang laris ini. Mantan Presiden ke-5, Megawati Soekarno Putri, pun berminat.
Rekening Utuh
Kendati saya istri seorang pangeran, tapi saya bertekad mencari uang sendiri. Saya tidak mau bergantung secara ekonomi kepada suami meski suami menyerahkan rekening gaji bulanannya kepada saya. Hingga kami berumah tangga selama bertahun-tahun, gaji suami saya utuh. Semua biaya keperluan rumah tangga saya ambil dari hasil bisnis resto.
Suatu kali Mas Joyo bertanya, “Apakah aku sudah tidak dibutuhkan lagi? Kenapa uang di rekening masih utuh?” ketika tahu saya tidak membelanjakan uang gaji bulanan yang ada di rekeningnya. Saya jelaskan kebutuhan sudah terpenuhi dari hasil bisnis. Tapi Mas Joyo tetap saja ingin saya membelanjakan uang pemberiannya agar beliau bisa menunaikan kewajibannya menafkahi istri dan anak-anaknya.
Sejak itulah, uang yang masuk ke rekekning Mas Joyo saya pindahkan ke rekening saya, lalu diam-diam saya belikan apartemen di Jakarta agar suami tidak perlu sewa rumah atau apartemen selama menjadi anggota dewan. Kebetulan saat itu setiap anggota dewan memperoleh jatah uang sewa apartemen selama perumahan anggota dewan direnovasi. Jadilah saya bisa membeli dua apartemen secara kontan. Apartemen di Kalibata City itu sekarang kami sewakan dan menjadi pemasukan tiap bulan.
Saya ingin membuktikan pada sementara pihak yang pernah berprasangka buruk kepada saya. Mereka pernah mengira kehadiran saya di sisi Mas Joyo hanya untuk menguras harta Mas Joyo. Yang paling menyakitkan, saya dibilang “melet” alias main dukun hingga akhirnya Mas Joyo jatuh hati pada saya. Naudzubillahi min dzalik.
Sakit sekali dikatakan seperti itu. Mereka tidak tahu bagaimana kerasnya usaha Mas Joyo mendekati saya. Mereka juga tidak tahu, saya pernah beberapa kali menolak kedatangan Mas Joyo ke kos. Saya tahu kala itu Mas Joyo sudah punya kekasih, tetapi masih saja mendekati saya. Mas Joyo juga tahu kala itu saya sudah memiliki pacar. Bahkan beliau datang ke kos saat saya sedang diapeli kekasih saya. Tapi toh beliau tidak mundur selangkah pun! Takdirlah yang menyatukan kami. Itulah salah salah satu alasan kenapa saya bekerja keras hingga sekarang ini.
Wajib Nyantri
Mungkin dalam pandangan awam, menjadi istri pangeran itu selalu enak. Tapi sesungguhnya gelar bangsawan dan status istri pangeran itu membawa konsekuensi juga. Saya, suami dan anak-anak, harus senantiasa menjadi panutan bagi masyarakat. Enaknya, masih banyak orang memberi apresiasi kepada keluarga Keraton Yogyakarta. Misalnya saat kami ke dokter. Begitu tahu kami keluarga keraton, dokternya tidak mau dibayar.
Mas Joyo sendiri orang yang memegang teguh prinsip. Dalam hal pendidikan anak-anak misalnya. Meski secara turunan putra-putri kami memiliki gelar bangsawan Raden Mas atau Raden Ajeng, tetapi Mas Joyo mewajibkan anak-anak menjadi abdi dalem di keraton. Mereka harus mengabdi dari tingkat terbawah. Maka gelar abdi dalemnya juga dari pangkat terbawah. “Kalau tidak kita, siapa yang mau mengabdi,” tegas Mas Joyo.
Jadilah, anak-anak kami punya dua gelar. Sebagai putra pangeran, mereka punya gelar Raden Mas dan Raden Ajeng. Tetapi sebagai abdi dalem, putri sulung saya, RAj. Nurhandani, juga bergelar Nyi Jayaningrum. Sementara anak kedua saya, RM Soemyandarto, sudah bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jayaningrat karena mengabdinya sudah lama. Si bungsu, RAj.Cintya Paramastri, yang masih kuliah di Jerman bergelar Nyi Jayaningtyas.
Dari sisi spiritual, sejak anak-anak masih kecil, saya tegas memasukkan mereka ke pondok pesantren. Sebelum masuk pondok mereka saya datangkan guru mengaji ke rumah. Mas Joyo saya beri pengertian terlebih dahulu bahwa beliau sebagai kepala keluarga kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pendidikan anak-anaknya. Akhirnya beliau setuju anak-anak masuk pondok pesantren mulai tingkat dasar sampai level SLTA.
Anak sulung kami masuk Pondok Gontor, yang kedua di Ponpes Ponorogo dan si bungsu ke Gunung Pati, Semarang. Setiap bulan mereka saya jenguk. Saya juga mendatangkan guru mengaji untuk Mas Joyo. Alhamdulillah Mas Joyo sudah khatam Quran beberapa kali. Beliau juga lebih dekat dengan kaum ulama. Baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Awalnya anak-anak menangis karena harus berbagi kamar dengan puluhan atau belasan santri lainnya. Jujur, sebagai ibu saya tidak tega. Tetapi saya tidak pernah mau menunjukkan air mata di hadapan anak-anak. Mereka harus paham terhadap agamanya, harus merasakan apa yang juga dirasakan dan dialami masyarakat pada umumnya. Selesai nyantri, anak-anak saya bebaskan mau kuliah di mana. Si sulung sudah menyelesaikan kuliah bahasa di Tiongkok, si bungsu masih kuliah Psikologi Bisnis di Jerman.
Di rumah pun, meski mereka cucu raja, saya tidak membiasakan anak-anak hidup mewah.
Bisnis Properti
Sayangnya, kebersamaan saya dengan Mas Joyo berakhir pada Desember 2013. Saya harus ikhlas melepas sigaraning nyawa alias garwa (suami). Mas Joyo berpulang ke rahmatullah setelah menderita penyakit komplikasi, jantung, diabetes dan ginjal. Sakitnya memang sudah lama. Beberapa tahun sebelumnya malah pernah kakinya akan diamputasi. Tapi saya berkeras membawanya berobat ke Tiongkok agar terbebas dari ancaman amputasi.
Kendati Mas Joyo telah tiada, saya tetap menyandang BRAy.Joyokusumo dan masih punya hak pakai Ndalem Joyokusuman. Karena itu, bisnis resto masih saya jalankan. Bisnis ini akan selesai bila saya meninggal. Sebab hak pinjam-pakai alias gaduh rumah yang kami diami hanya berhenti sampai tataran istri. Karena itu anak-anak kami belikan rumah sendiri-sendiri dari harta tinggalan suami.
Selain bisnis resto, sejak beberapa tahun lalu saya juga mengembangkan bisnis properti. Selain menyewakan apartemen di Kalibata dan ruko di Yogya, saat ini saya tengah menyelesaikan pembangunan kos eksklusif. Jauh sebelum itu, saya pernah berbisnis travel haji dan umrah. Tapi bisnis itu sudah saya akhiri.
Kini, saya adalah nenek dari satu cucu. Saya bahagia anak-anak sudah mandiri. Itu karena kami sudah membekali mereka dengan pendidikan akademis dan ilmu agama. Ini warisan yang tidak akan habis. Ibaratnya kalau anak ditinggal dengan setumpuk harta akan habis. Tapi dengan ilmu, mereka bisa hidup. Semoga kisah hidup saya bisa menginspirasi banyak orang.
Rini Sulistyati/NOVA