Festival Laskar Pelangi 2015, Andrea Pun Tampil Menyanyi

By nova.id, Minggu, 27 September 2015 | 10:15 WIB
Tarian Pendulang Timah menyampaikan pesan bagaimana anak-anak di Belitung bersusah payah mendulang timah untuk membantu keuangan keluarga. (nova.id)

Keindahan Pulau Belitung makin menjadi primadona wisata seiring melambungnya novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan juga film dengan judul yang sama karya Mira Lesmana dan Riri Riza. Semangat anak-anak Laskar Pelangi akhirnya diusung dalam gelaran festival seni dan budaya bertajuk Festival Laskar Pelangi 2015. Berlatar belakang keindahan pantai Tanjung Tinggi, festival ini mampu menyedot perhatian turis lokal maupun internasional. Pulau Belitung memang memiliki keindahan dan eksotisme tersendiri. Kecantikan pulau-pulau kecilnya dan keragaman budayanya membuat pulau di lepas pantai timur Sumatera itu semakin menarik untuk dikunjungi. Terlebih setelah novel laris karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi serta filmnya yang berjudul sama mendapat banyak perhatian publik. Kini, pulau Belitung menjadi tujuan wisata baru bagi turis domestik dan internasional.

Berangkat dari semangat anak-anak Laskar Pelangi, Andrea Hirata sebagai sang penulis lantas mencetuskan Festival Laskar Pelangi (FLP) yang digelar pertama kali di tahun 2010. Memasuki tahun ke-4 ini, FLP menyuguhkan gelaran yang lebih spektakuler yang dimulai sejak tanggal 27 Agustus hingga tanggal 30 Agustus 2015 lalu. Kali ini Pantai Tanjung Tinggi dipilih sebagai lokasi festival tahunan yang begitu dinanti khalayak ini.

FLP 2015 dibuka secara simbolis oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Povinsi Kepulauan Bangka Belitung, Tajudin, dilanjutkan beragam suguhan musik dan budaya tradisional setempat. Workshopfotografi dan sajian musik akustik serta pembacaan puisi di Museum Kata Andrea Hirata di Gantong, Belitung, juga turut meramaikan perhelatan akbar masyarakat Belitung ini.

Tarian Pendulang Timah

Ada satu suguhan yang selalu menarik untuk disaksikan setiap tahun di FLP yakni Tarian Kolosal Pendulang Timah yang dibawakan para siswa asli Belitung. Tahun ini, tarian teatrikal ini menampilkan hampir 840 penari. Menurut sang koreografer Wulan Febrianti tarian ini menceritakan potret anak Belitung yang dengan susah payah mendulang timah demi membantu ekonomi keluarga. “Gerakannya memang gerakan kontemporer, mulai mengambil pasir sampai harus memilih timah. Inspirasinya, ya, dari cara menambang timah,” ungkap Wulan.

Dalam tarian tersebut, 840 anak dilumuri body painting dengan tujuh warna pelangi yang menggambarkan Laskar Pelangi. Para penari membuat dua buah lingkaran, besar dan kecil. Lingkaran kecil di tengah yang terdiri dari 50 anak membawakan beberapa aksi teatrikal yang terdiri dari empat gerakan utama yakni kungkangkung sebagai simbol suara kodok yang ada di sekitar lokasi tambang, gerakan ular berdesis yang juga simbol beberapa penambang yang kerap digigit ular, berlompat- lompat sambil berteriak “Eeeaaa,” yang melambangkan sorak sorai penambang lantaran membawa pulang banyak hasil tambang, dan gerakan ular tangga. Pada gerakan ular tangga, penari akan berbaris berduyun- duyun seperti ular tangga, menceritakan bagaimana para penambang pulang ke rumah secara berduyun-duyun lantaran akses menuju tambang yang sempit.

Penari utama yang ada di tengah menggunakan kain panjang berjuntai melambangkan peri timah yang berasal dari cerita rakyat Belitung. “Di Belitung ada legenda, di tempat tambang timah kalau ada yang menjadi korban dan meninggal dukun kampung akan datang mengadakan selamatan. Diyakini peri timah akan datang lagi untuk kembali menebar timah,” tutur Wulan.

Dari tahun ke tahun, Tarian Kolosal Pendulang Timah memang selalu melibatkan ratusan siswa dan putra asli Belitung. Kini, tarian ini menjadi daya tarik utama Festival Laskar Pelangi. “Kisah para pendulang timah ini memang menggambarkan bagaimana susahnya anak-anak kami mendulang timah di kolong bumi. Menggambarkan masyarakat kami yang miskin meski punya banyak hasil tambang,” ungkap penulis novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata.

Komentar positif juga dilontarkan para pengunjung, seperti Yuri Suzuki (21), seorang turis asal Yokohama Jepang yang mengaku sangat terpesona dengan alam yang indah dan juga sajian tarian yang menarik. “Pantai sangat indah dan tariannya juga bagus. Banyak yang terlibat dan membuat tersentuh,” ungkap gadis yang juga menjadi salah satu penggemar novel Laskar Pelangi dalam bahasa Jepang itu.

Diharapkan, tarian ini akan menjadi sajian menarik bagi para turis yang datang. “Tarian ini juga bisa dipesan untuk sambutan tamu atau turis yang ingin menyaksikan langsung, tentunya tidak melibatkan 800 anak seperti waktu festival,” kata Andrea.

Selain sajian tarian kolosal pendulang timah, FLP juga menyuguhkan tarian tradisional lainnya seperti Cerita Putri Nurjanu, Tarian Ngelagan dan Barongsai serta karnaval budaya yang menampilkan pakaian - pakaian unik hasil karya putra Belitung.

Malam Puncak

Tarian dan karnaval budaya digelar di hari terakhir FLP hingga pukul 5 sore. Acara sempat berhenti sejenak untuk memberi kesempatan pengunjung menikmati sajian alam berupa sunset yang indah khas Tanjung Tinggi. Acara puncak pun dilanjutkan pada malam hari sekitar pukul 7 malam.

Bulan yang indah dan angin sepoi-sepoi tepi laut seakan turut merestui berjalannya acara puncak kala itu. Puisi-puisi dan sajian lagu-lagu reggae acara secara silih berganti menghibur para pengunjung. Suasana semakin meriah dengan diterbangkannya sejumlah lampion dan dinyalakannya obor-obor di tepi pantai.

Penonton semakin semarak tatkala empat wanita yang tergabung dalam quartet string biola Electra membawakan beberapa instrumental yang apik seperti Kashmir dari Led Zeppellin dan Viva La Vida dari Coldplay. Acara dilanjutkan dengan penampilan musisi asal Jepang, Hiroaki Kato. Pria yang juga menerjemahkan novel Laskar Pelangi ke dalam bahasa Jepang ini membawakan lagu pop Belitung seperti Kepice dan Kupi Manggar. Logat dan aksi panggung dari Hiro yang jenaka sukses menghibur pengunjung. “Lucu ya, senang juga ada orang asing yang mau belajar budaya kita,” ungkap Endang, salah satu pengunjung dari Jakarta.

Selanjutnya giliran Meda Kawu. Penyanyi yang juga menyanyikan Laskar Pelangi Song Book ini berkolaborasi dengan Hiro dan Stella, Laura, Chicha dan Sanjung yang tergabung dalam Electra. Membawakan lagu Hikayat Cinta dan Cinta Gila, Meda kembali membuat suasana semakin memanas.

Penonton dibawa sedikit melow dengan lagu Hai Ayah karya Meda. Di pertengahan lagu, Hiro membacakan penggalan buku Ayah yang ditulis oleh Andrea Hirata. Pemuda Jepang ini tampak begitu menghayati saat membacakannya dengan intonasi yang pas.

Andrea Hirata akhirnya naik ke panggung dengan kedua muridnya di Museum Kata Andrea Hirata, Paula dan Andi. Ketiganya membawakan instrumen Spain Al Jarreau. “Mereka ini anak kampong yang memang mau belajar. Semangatnya itu. Museum selalu berusaha memberikan ruang untuk mereka berkarya,” ucap Andrea.

Di penghujung acara, Meda, Hiro, Electra dan Andrea Hirata kembali berkolaborasi membawakan lagu Laskar Pelangi karya Nidji. Dihiasi ribuan kembang api, acara pun makin meriah. “Kita sebagai panitia lokal sangat bersemangat. Alhamdulilah sukses dan luar biasa dengan puncak acara kita melepaskan 1.600 kembang api dan memakan 20 menit. Masyarakat sangat terpukau dengan ini,” ungkap Kusumah Kosasih selaku Ketua Umum Festival Laskar Pelangi 2015.

Ke depannya, panitia berharap adanya bantuan dari Dinas Pariwisata, sehingga FLP mampu menjadi agenda festival tahunan sehingga dapat mendongkrak pariwisata pulau Belitung yang mulai bangkit. Untuk itulah Kusumah menantikan kerjasama dengan musisi Indonesia lainnya atau bahkan musisi internasional. “Kami ingin FLP bisa jadi festival yang lebih besar. Untuk tarian dan sajian budaya, kami ingin mengajak dari daerah lain seperti Yogyakarta, Jawa Timur atau Papua. Kami juga berharap berharap bisa mendatangkan musisi lebih banyak lagi dan semakin memeriahkan acara Festival Laskar Pelangi 2016 mendatang,” tutup Kusumah.

Reinis Kumampung