Kalau pernah mendengar Sambel Roa Judes, tak salah lagi, itulah produkku. Judes merupakan singkatan dari Juara Pedes, karena sambal buatanku ini memang sangat pedas. Sebetulnya, aku memulai bisnis ini secara tak sengaja. Suatu hari pada tahun 2012, seorang seniorku di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semasa kuliah dulu bermaksud pulang kampung ke halamannya di Manado.
Mengetahui hal itu, aku langsung titip ikan roa yang waktu itu susah didapat di luar daerah asalnya. Aku tahu ikan roa yang mahal itu lezat bila dibuat sambal. Kebetulan, sewaktu kuliah di Perbanas dulu, ada teman satu kos yang sering membawa sambal roa setiap kali datang dari kampung halamannya di Manado, Sulawesi Utara. Nah, teman-teman satu kos sering meminta sambal roa itu. Sebagai penggemar pedas, aku lalu menanyakan resepnya.
Ternyata, ikan dari seniorku datang berbentuk bubuk. Jumlahnya pun cukup banyak, satu kilogram. Aku bingung sendiri, mau kuapakan ikan bubuk sebanyak itu? Akhirnya kutumis menjadi sambal, persis seperti yang kujual sekarang. Ketika itu, aku memang sudah sering membuat sambal ini. Ikannya biasanya kubeli di supermarket. Setelah dimasak ternyata hasilnya satu wajan penuh. Terlalu banyak buatku, apalagi waktu itu sedang menyusui anak kedua sehingga tidak bisa mengonsumsinya sambal terlalu banyak.
Kebetulan, ada empat botol ASI ukuran 100 ml yang belum dipakai. Iseng-iseng, kumasukkan sambal roa itu ke dalam botol. Lalu, botol itu kufoto menggunakan ponsel. Sambil memajang foto itu sebagai gambar profil, aku menulis status apakah ada teman-temanku di Blackberry Message yang berminat? Aku masih ingat betul, waktu itu 18 Juni 2012. Saat itu juga, dengan memanfaatkan wifi yang ada di rumah, aku langsung membuat akun Fanpage di Facebook, Twitter, dan situs.
Pendek kata, gaya-gayaan lah. Toh, semua gratis. Tak lupa, aku juga berkhayal sambalku ini kelak harus mendunia, entah bagaimana caranya. Berkhayal kan, juga gratis, jadi aku seenaknya saja. Lalu, aku juga senang gonta-ganti foto di profile picture dan mengirim broadcast ke nomor teman-temanku di BBM. Besoknya, botol-botol itu kubawa ke kantor dan langsung ludes. Per botol kujual Rp28.000. Angka itu kuambil dari tanggal pernikahanku. Ha ha ha. Asal banget, ya?
Berburu Cabai
Ternyata, teman-temanku yang lain ikut memesan. Karena stok ikan roa sudah habis, aku lalu memesan ikan roa langsung ke di Manado, dengan bekal nomor telepon yang diberi seniorku. Modalku tak sampai Rp100.000. Lagi-lagi, pesanan dari teman-teman membuat ikan roaku langsung habis dan aku kembali memproduksi karena pesanan terus mengalir. Satu kilo ikan roa bubuk harganya waktu itu sekitar Rp200.000 dalam kemasan kecil. Biasa aku memesan Rp300.000-Rp400.000.
Pada minggu ketiga, sambalku yang sebenarnya sudah memiliki merek, mulai ditempeli stiker. Stiker itu kudesain sendiri. Kalau di kantor sedang tidak ada kerjaan, aku menggambar di kertas memo yang kubalik. Selain gambar ikan, kutulis juga komposisi, ukuran tulisan, dan lainnya. Setelah itu, kuberikan pada temanku yang menguasai desain grafis untuk membuatnya di komputer.
Sebelum pulang dari kantor, biasanya aku menelepon suami untuk mampir ke Pasar Kramat Jati, Jakarta, dalam perjalanannya pulang dari kantor untuk membeli bahan baku sambal roa. Sesampaiku di rumah, setelah mandi dan menyusui anak, aku langsung mengerjakan pesanan. Terkadang, sambal sampai pukul 02.00 dini hari. Namun, karena happy mengerjakannya, tak masalah buatku.
Kalau bayiku terbangun, aku akan berhenti sejenak untuk menyusui, lalu melanjutkan membuat sambal roa lagi. Suamiku waktu itu belum terlihat jelas sikapnya. Mendukung tidak, melarang juga tidak. Setelah melihat bisnisku terus berkembang, barulah ia ikut memikirkannya. Setiap Sabtu, aku dan suami pergi ke pasar induk untuk berburu cabai. Lucunya, suamiku yang berdarah Padang ini tidak bisa berjualan, tapi lebih jago menawar barang di pasar ketimbang aku. He he he.
Nah, sesampai di rumah, suamiku membantu menggiling cabai dan mengangkatnya. Ketika pesanan mencapai beberapa puluh botol, aku bingung karena wajan yang ada tak cukup untuk memasak sebanyak itu. Akhirnya aku diajak suami ke Pasar Senen untuk membeli wajan besar dan kompor. Itu pun masih kurang, esoknya aku meminta suami untuk membelikannya lagi
Saat Tak Terlupakan