Iga Bakar Si Jangkung, Ciri Khas Gerabah
Meski berada di jalan yang hanya bisa dilalui satu arah, Iga Bakar Si Jangkung selalu ramai dipenuhi pengunjung. Tempat makan ini terletak sebelum Masjid Raya Cipaganti di Jalan Cipaganti, Bandung, di sebelah kiri jalan. Iga bakar kambing menjadi andalan warung makan bercat hijau ini. Rasa gurihnya daging kambing bersatu dengan manisnya kecap. Slamet Haryanto (45), sang pemilik, memulai usaha ini sejak masih bujangan, tepatnya tahun 1996. Haryanto memilih usaha kuliner lantaran memang hobi memasak. Orangtuanya berjualan sate. Maka, setelah lulus kuliah, ia nekat membuka usaha kuliner mengikuti jejak orangtuanya. Terbiasa melihat orangtuanya memasak membuatnya tak sulit meniru.
Awalnya, setiap hari ia berkeliling dengan gerobak di sekitar Cipaganti, Sejahtera, sampai Hegarmanah menjajakan sate, gulai, nasi goreng, dan tongseng, pukul 16.00-24.00. “Awalnya berat banget. Belanja sekilo daging, tiga kilo beras, dan lainnya baru habis dalam seminggu. Sehari 5-10 porsi sate sudah bagus banget, waktu itu. Memang sempat down, tapi saya mikirnya yang penting bisa makan dan usaha bisa tetap jalan. Enggak mikir keuntungan,” ujarnya. Haryanto menambahkan, saat memulai usaha dulu, ia sering gagal. Itu sebabnya, "Ketika saya berjualan, orangtua meminta saya menikah dulu. Kalau menurut kepercayaan orangtua zaman dulu, menikah bisa melancarkan rezeki. Tahun 1998 akhirnya saya menikah," ujarnya. Sebetulnya, ia sempat meminta izin orangtuanya agar uang yang sedianya untuk biaya menikah bisa ia gunakan sebagai modal usaha.
"Tapi orangtua saya menolak. Setelah menikah, saya hanya diberi modal uang Rp500.000, yang saya gunakan untuk membeli perlengkapan dan tenda. Kalau gerobak, kan, sudah ada," kenangnya.
Haryanto pantang menyerah. Tak lama, ia mulai mangkal di pinggir Jalan Setiabudi dengan nama Si Jangkung. Sejak itulah, pelan-pelan usaha iga bakar Haryanto mulai berkembang. Namun, lagi-lagi cobaan datang. Saat usahanya sudah cukup maju, pemilik kios enggan memperpanjang masa kontrak Haryanto. Terpaksa, ia pindah dan berjualan di pinggir jalan.
Dirazia petugas Satpol PP, gerobak ditendang atau diangkut petugas menjadi pengalaman pahit yang dirasakannya kala itu. Berkat tekatnya yang kuat, Haryanto berhasil bangkit lagi dan berjualan di sebuah kios di Jalan Cipaganti yang sampai sekarang ia tempati. Biaya sewa kios sebesar Rp500.000 per bulan ia rasakan sangat berat karena usahanya baru merangkak lagi dari bawah. Ia memutuskan untuk berjualan sendirian untuk menekan biaya operasional.
Sekitar tahun 2000, ia berubah haluan dengan menjual iga bakar sebagai menu andalan. Menu lain hanya pelengkap. “Penjual sate kan, sudah terlalu banyak. Nah, saya lihat, orang Bandung sukanya yang aneh-aneh. Makanya, saya memilih iga bakar yang waktu itu belum ada di Bandung,” jelasnya panjang. Resep yang didapatnya dari orangtua, ia kembangkan sendiri.
Punya Tujuh Cabang
Alih-alih menggunakan piring biasa, Haryanto juga berkreasi dengan menggunakan gerabah sebagai wadah iga bakar. Idenya ia dapat dari cara penyajian di warung pecel lele pinggir jalan. Meski tak lagi berkeliling, bisa dibilang Haryanto memulai iga bakarnya dari nol. “Dua kilo iga baru habis dalam dua minggu. Sehari paling-paling 1-2 porsi,” tutur pria bertubuh jangkung yang lagi-lagi enggan menyerah ini.
Agar usahanya dikenal lebih banyak orang, Haryanto yang butuh waktu dua tahun untuk menyempurnakan resepnya menjadi seperti sekarang, rajin ikut pameran kuliner di Bandung. “Pertama kali ikut pameran waktu tahu ada sisa stan yang masih kosong di sebuah festival kuliner, penyelenggaranya sebuah perusahaan yang memproduksi kecap merek terkenal. Dari situ Iga Bakar Si Jangkung mulai dikenal orang. Stasiun teve juga mulai meliput sehingga banyak yang penasaran dan mencoba,” ujar Haryanto yang berburu sampai ke Jawa Tengah demi mendapatkan gerabah yang tak mudah pecah bila terkena panas.
Makin lama, Iga Bakar Si Jangkung makin dikenal warga Bandung, walaupun diakuinya kini justru orang Jakarta yang lebih mengenal dan menjadi pelanggannya. Tak hanya Bandung dan Jakarta, pembeli iga bakar Haryanto juga berasal dari Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Lantaran warungnya yang buka pukul 18.00-24.00 itu tak cukup menampung pembeli, Haryanto mengontrak kios di sebelahnya.
Di Bandung sendiri, Haryanto memiliki tujuh cabang dengan 32 pegawai. Dua berbentuk warung yaitu di Cipaganti dan Pasteur, sedangkan sisanya berada di area food court. “Dalam sehari, seluruh cabang menghabiskan 100 kg daging sapi dan 50 kg daging kambing. Total sekitar 750 porsi per hari. Iga bakar per porsi beratnya sekitar 200 gr dijual dengan harga Rp35.000. Ada juga gulai, tongseng, nasi goreng, dan menu terbaru kami sop bakar,” papar pria ramah ini.