Mengemudi kini bisa disebut sebagai bagian dari perilaku. Hal ini diungkap Direktur Psycho-biometric Lab R&D Talent Spectrum & Fingerprint Analysis, Adrian Benny Hidayat, saat Workshop Brain Based Driving (BBD), Selasa (13/10) lalu di Jakarta.
“Sejak lahir hingga dewasa, manusia memiliki dua perilaku yaitu sadar dan bawah sadar. Walau seluruh kegiatan itu dilakukan dengan sadar, ternyata mengemudi itu lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku bawah sadar. Mengapa? Karena dalam mengemudi bicara mengenai gerakan refleks. Jadi, intinya ini adalah tentang bagaimana kita menggunakan otak kita,” tukas pria yang akrab disapa Benny itu.
Setiap manusia memiliki keunikan masing-masing, namun diharapkan keunikan tersebut tidak mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Karena banyak dipengaruhi alam bawah sadar, tak menutup kemungkinan bawah sadar itu mendorong seseorang ke dalam situasi yang berbahaya.
Dengan mengetahui keunikan diri masing-masing lalu mencari tahu cara mengatasinya, diharapkan dorongan itu tidak membahayakan.
Watak Asli
Kenapa begitu? Apa korelasinya dan pentingnya BBD ini dengan safety driving? Dijelaskan Benny, berkendara tidak hanya berhubungan dengan takdir dan nasib semata. Menurutnya, sebuah kecelakaan terjadi karena adanya sebab akibat, sehingga secara langsung berhubungan dengan apa yang dilakukan sebelum kecelakaan itu terjadi.
Di sinilah pentingnya BBD untuk menjadi pengingat para pengemudi agar bertanggung jawab baik pada diri sendiri, keluarga dan juga sesama pengguna jalan. “Sehingga kita bisa mengendalikan dorongan yang tidak kita sadari,” ujarnya. Sebagian manusia berpotensi memiliki risiko tinggi dalam mengemudi. “Contoh orang yang kemampuan refleksnya rendah, orang yang kemampuan logikanya terlalu tinggi atau orang yang kinerja otaknya didominasi oleh otak kanan,” akunya.
Melalui BBD ini, seseorang dapat mengetahui dan mengenali otaknya sehingga mampu melakukan pencegahan supaya bisa menjaga keamanan dalam berkendara dan berbagai kegiatan lain. “Kecerdasan bisa berubah, kepribadian bisa berubah, tapi yang namanya watak asli tidak akan berubah. Hal itu bisa diketahui dari pola sidik jari, tulisan tangan dan lain-lain. Perilaku itu bersumber dari otak kita,” bebernya.
Hal ini dibuktikan ketika sedang berkendara. Saat mengemudi, kita menemukan berbagai macam perilaku dan karakter orang di jalan. Misalnya, bertemu orang yang tempramental, orang yang gampang capek dan lain-lain. Perilaku-perilaku tersebut terkadang berisiko membuahkan kecelakaan.
Belahan Otak
Melalui program BBD ini, “Kita berkenalan dengan kinerja otak yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu. Kembali bahwa ketika orang mengemudi, sebetulnya otaklah yang mengendalikan semua aktivitas. Bagaimana setting-an kerja otak kita itu menentukan bagaimana kita mengemudi.”
Itu sebabnya setiap orang punya gaya mengemudi sendiri-sendiri, karena dipengaruhi bagaimana otaknya bekerja.
“Setiap orang walaupun unik, perilakunya bisa diprediksi dan bisa dimodifikasi setelah mengetahui bagaimana cara kerja otaknya,” lanjut Benny. Pasalnya, karakter dasar orang bersumber dari bagian otak mana yang dominan dan itu sudah bawaan sejak lahir, namun bisa dilatih dan bisa berubah.
Kepribadian itu berlapis-lapis, aslinya adalah watak. Seiring bertambahnya usia, semakin berlapis pula kepribadiannya. Tapi, akan keluar watak aslinya ketika berada dalam kondisi yang sangat tertekan dan saat merasa nyaman sekali.”
“Gaya berkendara juga dipengaruhi oleh kinerja otak belahan mana yang dominan, apakah belahan kanan atau belahan kiri. Lalu, bagaimana gaya mengemudi mereka? Mereka yang didominasi otak belahan kiri akan memerhatikan angka-angka dan sangat terstruktur. Enggak pakai prediksi tapi kalkulasi, sangat kalkulatif,” jelas Benny.
Sementara itu, orang yang dominan otak belahan kanan akan lebih prediktif, imajinatif dan kreatif dan orang dengan otak kanan lebih melihat gambar, lebih nekat. Masing-masing gaya berkendara itu memiliki plus dan minus tersendiri. Namun, kata Benny, akan lebih bagus lagi jika seorang pengemudi mampu menggunakan keduanya secara sempurna. “Sayangnya, tidak semua orang bisa menggunakan dua belah otak itu. Karenanya perlu dilatih,” terangnya.
Tipe Mengemudi
Gaya berkendara juga dipengaruhi oleh fungsi kerja otak yang dinamakan lobus. “Masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda. Bagian depan asosiasi dan persepsi, bagian selanjutnya cara menganalisa dan mengambil keputusan, berikutnya cara bertindak, berkomunikasi dan melihat.”
Secara keseluruhan, Benny membagi gaya mengemudi dalam empat tipe, yaitu Cognitive Driver, Affective Driver, Reflective Driver dan Dual Affective Driver. Orang dengan tipe Cognitive Driver sangat kuat dalam menggunakan nalarnya, serba mikir. Orang tipe ini egonya kuat, mikir agar sampai tujuan.
“Kalau Affective Driver itu serba dirasa, enggak enakan karena menggunakan perasaan. Reflective Driver menggunakan insting dan sangat menjaga SOP dalam mematuhi aturan. Aturan yang digunakannya juga tergantung dengan aturan apa yang ditanamkan sejak awal. Kalau aturan tersebut baik, dia akan baik selamanya, dan bila jelek akan jelek selamanya. Sementara Dual Affective Driver adalah seseorang yang menggunakan Cognitive dan Affective secara bersamaan, tapi enggak ketemu-ketemu, suka bingungan,” tutupnya.
Masing-masing gaya berkendara yang disebutkan di atas memang tidak sepenuhnya benar dan juga salah. Namun, dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dalam berkendara. Di sinilah pentingnya menggali beragam informasi penting seputar berkendara aman atau yang biasa disebut safety driving dan defensive driving. Sekadar menyegarkan ingatan, safety driving adalah perilaku mengemudi yang mengacu pada standar keselamatan berkendara. Sementara defensive driving adalah perilaku mengemudi yang dapat menghindarkan dari masalah yang disebabkan oleh orang lain maupun diri sendiri.
Edwin Yusman F./TabloidNOVA