Pasca Cerai, Ethan Hawke Sulit Punya Waktu Dengan Anak

By nova.id, Jumat, 20 November 2015 | 07:00 WIB
Ethan Hawke dan dua anaknya, Maya (17) dan Levon (13). (nova.id)

Tabloidnova.com – Ethan Hawke baru-baru ini mengungkapkan kesulitannya membesarkan anak-anak setelah bercerai, terutama untuk bisa memiliki waktu berkualitas bersama. Setidaknya, ini yang ia rasakan karena harus berbagi hak asuh kedua anaknya bersama mantan istrinya, aktris Uma Thurman. Apalagi, ia juga kemudian menjadi ayah untuk dua anak perempuan lainnya dari pernikahannya yang sekarang dengan Ryan Hawke.

“Satu hal yang sangat sulit sebagai orang yang telah bercerai adalah anak-anak kamu bisa membuat kamu merasa terpojok dan seperti telah membuat bencana. Karena saat mereka berada di rumah saya, mereka akan bercerita jika di rumah ibunya mereka diperbolehkan makan es krim. Jika terlalu banyak larangan, mereka juga bisa ngambek dan tidak mau lagi berkunjung minggu depanny. Jika saya berusaha untuk tegass, mereka pun akan mengeluh terlalu banyak peraturan. Ya, mulai dari rumah nenek, rumah ibu, sampai rumah ayah. Ini bukan berarti ada yang salah dalam situasi ini atau mencari siapa yang paling memiliki peraturan yang paling benar. Tetapi, apapun, anak-anak tetap melihat hal itu sebagai peraturan,” jelas aktor nominasi Oscar untuk film “Boyhood” ini saat tampil di sesi tanya jawab Hearst Master Class di New York.

Setelah menikah selama tujuh tahun dengan Uma Thurman, Ethan bercerai di tahun 2005 dan mereka memiliki dua orang anak, Maya (17) dan Levon (13). Di tahun 2008, aktor 45 tahun ini menikah lagi dan memiliki dua orang anak perempuan, Clementine dan Indiana. Dengan memiliki empat orang anak inilah, ia pun terinspirasi untuk menulis buku tentang suka dukanya mengasuh anak setelah bercerai dari berbagai sisi.

“Saya menulis buku ini awalnya ingin sebagai kado buat anak-anak saya. Tetapi, kemudian saya merasa saya tidak pernah punya waktu berkualitas yang cukup lama bersama anak-anak. Memang waktu bersama dengan mereka setiap mereka berkunjung di akhir pekan tidak pernah membosankan karena selalu ada aktivitas yang dikerjakan. Tetapi, saya memiliki mereka di hari-hari tertentu saja. Jika sudah waktunya, mereka harus pulang dan saya pun jarang punya kesempatan untuk mengobrol atau mengetahui apa saja yang ada di dalam pikiran atau kehidupan mereka. Itulah akhirnya yang membuat saya terpacu untuk menyelesaikan buku ini. Saya ingin agar orang tua yang berada di posisi saya tidak kehilangan kesempatan untuk melangsungkan pembicaraan dari hati ke hati dengan anak mereka.”

Syanne/Tabloidnova.com