Klinik Aborsi Ilegal Gunakan Tenaga Medis Lulusan SMP

By nova.id, Kamis, 25 Februari 2016 | 06:31 WIB
Suasana salah satu ruang operasi yang ada di klinik aborsi ilegal di Jalan Cimandiri, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat (nova.id)

Tabloidnova.com - Pihak kepolisian mengimbau masyarakat untuk tidak pernah mencoba-coba menggunakan jasa praktik aborsi ilegal yang banyak ditawarkan di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Selain tidak berizin, klinik-klinik tersebut menggunakan tenaga dokter gadungan.

Kepala Sub Direktorat Sumdaling Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Adi Vivid mengatakan, dalam penggerebekan di dua klinik pada pekan lalu, mereka menemukan bahwa salah satu orang yang mengaku sebagai dokter ternyata hanya tamatan SMP.

"Tenaga medis yang bekerja di sini tidak ada satu pun yang berlatar belakang ahli kandungan. Kebanyakan hanya dokter umum, bahkan ada salah satunya yang hanya tamatan SMP. Bayangkan, betapa bahayanya ini," kata Adi di lokasi penggerebekan di Jalan Cimandiri, Rabu (24/2/2016).

Menurut Adi, praktik aborsi sebenarnya tidak dilarang, apabila dengan catatan khusus, yakni diperuntukkan bagi janin yang tidak bisa berkembang, dan korban pemerkosaan. Itu pun harus disertakan dengan adanya surat keterangan dokter dan kepolisian.

Baca juga: Minum Ramuan Aborsi, Mahasiswi Itu Akhirnya Meninggal Dunia

Adi menyebut, syarat inilah yang tidak pernah dipatuhi oleh klinik aborsi yang tidak berizin. Atas dasar itu, Adi mengimbau masyarakat untuk tidak pernah menggunakan jasa klinik aborsi ilegal.

"Datanglah ke klinik resmi yang ada plangnya, atau kalau mau lebih aman lagi langsung ke rumah sakit," ujar dia.

Dari penggerebekan dua klinik aborsi ilegal yang ada di Cikini pada pekan lalu, polisi menangkap sembilan tersangka yang memiliki peran berbeda, masing-masing sebagai dokter, karyawan, dan calo.

Mereka terancam akan diganjar hukuman 10 tahun penjara atas pelanggaran pasal berlapis. Pasal yang dilanggar masing-masing Pasal 75 juncto 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Pasal 73, 77, dan 78 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; Pasal 64 juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; serta Pasal 55, 56, 299, 346, 348, dan 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Alsadad Rudi / Kompas.com