Kesepakatan yang dibuat sebelum menikah ternyata tak bisa dijadikan pegangan. Salah satu penyebabnya adalah perubahan yang tak terduga. Bila suami berubah usai menikah, kapan saatnya Anda membutuhkan bantuan orang ketiga? Sebelum mengikat janji pernikahan, Anda berdua sepakat untuk hidup terpisah dari orangtua masing-masing. Tujuannya sederhana namun sangat penting, Anda berdua ingin hidup mandiri. Waktu itu, suami juga mengungkapkan keberatan jika harus menumpang di rumah mertua karena ia merasa risih.
Anda berdua yang tadinya sudah semangat mencari tempat tinggal sendiri harus mengubah haluan. Misalnya, karena ayah suami tiba-tiba meninggal dunia dan akhirnya, ibu suami tinggal sendiri di rumah. Sebagai anak, suami tak mungkin membiarkan Sang Ibu tinggal sendiri dalam keadaan gamang. Alhasil, ia memboyong Anda ke rumah orangtuanya. “Ini, kan, kejadian yang enggak diperkirakan. Tapi, mesti dibicarakan apakah Anda berdua akan tinggal selamanya di rumah ibu Si Suami atau sampai Sang Ibu stabil kembali?” saran psikolog keluarga dan anak, Anna Surti Ariani, Psi.
BACA: Inilah 8 Harapan Istri pada Suami yang Sulit Diungkapkan
Wajar Terjadi
Saat merasakan suami berubah setelah menikah, masalah yang paling sering terjadi adalah perbedaan ekspektasi.
“Idealnya, kalau ada ekspektasi tertentu memang lebih baik dibicarakan sebelum menikah. Kalau ada keberatan atau hal yang dirasakan mengganggu, ini bisa dijadikan sebagai pertimbangan sebelum menikah. Jangan menikah karena terpaksa,” jelas Nina, panggilan akrabnya.
Perbedaan ekspektasi sebenarnya wajar saja terjadi meski kesepakatan sudah dibuat. “Pernikahan yang paling bahagia sekalipun memiliki perbedaan ekspektasi,” ujar Nina.
Yang menjadi persoalan adalah maukah Anda berdua untuk bertoleransi dan berkorban? Dan, ketika evaluasi akan ekspektasi dilakukan, apakah pasangan mampu melakukan evaluasi atau perubahan tersebut. “Apakah harapan yang sebelumnya masih bisa dijalankan atau justru harus diubah?” tegas Nina.
Anda berdua juga harus siap menerima konsekuensi jika ternyata harus mengalah. “Kadang-kadang kita harus mengikuti pasangan atau malah dua-duanya enggak terpenuhi keinginannya,” jelas Nina. Dan, yang lebih penting, Anda berdua menjalani pengorbanan dengan sadar dan sabar. “Bisa bahagia, kok! Pasti!” tegas Nina.
Menurut Nina, perubahan semacam ini juga termasuk salah satu risiko dari menikah. “Oleh karena itu, lakukan pacaran yang ideal. Bukan hanya peluk-pelukan,” ujarnya setengah bercanda. Melainkan, mencari tahu kepribadian masing-masing, “Apakah Anda berdua akan cocok satu sama lain seumur hidup?” tambahnya.
Perempuan Hanya Ingin Didengarkan
Menyambung soal harapan yang disinggung sebelumnya, tak jarang perubahan terjadi di tengah jalan dan Anda pun tak bisa mengelak untuk mengalah. Di saat seperti ini pula, cara berkomunikasi pasangan saling diuji.
“Komunikasi antara perempuan dan laki-laki itu berbeda. Perempuan lebih mengutamakan perasaan dan menghargai proses. Ia ingin didengarkan,” jelas psikolog yang aktif “berkicau” di Twitter ini.
Sementara pria, lanjut Nina, lebih mementingkan hasil. “Ketika perempuan bicara, laki-laki memutuskan untuk memberikan solusi. Padahal sebenarnya Si Perempuan hanya ingin didengarkan.
Nah, ketika Anda bertanya kepada pasangan mengenai kepastian akan perubahan kesepakatan, jangan memaksakan pendapat. “Jangan sampai pasangan dipaksa melakukan pendapat Anda atau menerima pendapat padahal ia tidak suka,” tambah Nina.
Kasus lain yang melibatkan perubahan ekspektasi, misalnya, keinginan memiliki anak. Di awal pernikahan, Anda berdua berharap segera mendapatkan momongan namun tahun berganti tahun, buah hati tak kunjung didapat.
Padahal, segala cara juga sudah diupayakan. Untuk masalah yang sensitif seperti ini, Nina mengingatkan sekali lagi, agar tidak ada pihak yang saling memaksakan pendapat.
Bila salah satu pasangan sudah lelah mengupayakan memiliki anak, sementara pasangan yang lain tetap gigih berusaha, apa yang harus dilakukan? Nina menyarankan agar Anda berdua mencari solusi sekaligus menyiapkan diri untuk mengalah. Namun, jangan sampai salah satu memendam rasa kecewa.
BACA: 7 Masalah Rumah Tangga dan Penyelesaiannya
Perasaan ini tak cuma bisa diungkapkan lewat kemarahan, lho. Misalnya, jika Anda memutuskan untuk mengadopsi anak padahal pasangan tak menyetujuinya karena baginya hidup berdua saja sudah cukup, ia bisa meluapkannya lewat penolakan terselubung. Mengabaikan Si Anak, misalnya, alhasil pasangan pun merasa tak nyaman.
Jika disimpulkan, maka setiap pasangan idealnya memiliki komunikasi yang sehat sehingga bisa toleransi di antara keduanya bisa tercapai. Dan, ketika ekspektasi tak terpenuhi, “Percayalah, pasti ada makna atau ada sesuatu di balik semua itu,” ujar Nina.
Pihak Ketiga
Ketika Anda berdua sudah tidak bisa menemukan cara yang tepat untuk mempertemukan dua kutub yang saling berlawanan, sah-sah saja, lho meminta bantuan dari orang lain.
“Memperbaiki komunikasi tidak harus selalu langsung pergi ke psikolog. Anda bisa memulainya lewat orang yang dekat dengan suami atau istri. Misalnya meminta anggota keluarga besar suami untuk berbicara dengannya,” urai Nina.
BACA: 8 Sumber Konflik Suami Istri
Namun, saat Anda mencurahkan perasaan kepada orangtua atau mertua, pastikan Anda sudah memberikan batasan bahwa, “Saya enggak pengen Mama beranggapan negatif terhadap suami saya. Saya cuma ingin tahu cara memperbaikinya,” ujar Nina mencontohkan.
Atau, jika Anda sungkan, Anda juga bisa bertanya kepada mereka yang sudah cukup lama menikah dan Anda percayai. “Tidak harus ke orangtua atau mertua, carilah orang yang membuat Anda nyaman bercerita,” tambah Nina.
Dan, ingatlah, curhat semacam ini tidak bisa dilakukan hanya sekali. “Jangan dilihat satu kali peristiwa. Pertama kali bercerita, mungkin mereka akan shock, tapi di kali kedua, setelah mereka mencerna, mereka akan memberikan saran yang lebih objektif sekaligus saran terbaik.
Jika pertengkaran dengan pasangan karena perbedaan ekspektasi ini makin meruncing, “Lebih baik berkonsultasi dengan konselor pernikahan atau psikolog,” ujar Nina. Sama halnya dengan cara berbicara dengan orang dekat, psikolog juga memerlukan waktu untuk menelaah masalah Anda berdua. “Satu kali pertemuan bisa sejam sampai dua jam dan bisa jadi lebih dari dua kali ketemu, baru ketemu solusinya. Apalagi jika masalahnya rumit,”
Astrid Isnawati/DOK.NOVA