Ayu Tri Handayani: Dari Kakinya, Lahirlah Batik Indah

By nova.id, Jumat, 15 Juli 2016 | 05:01 WIB
Ayu pembatik difabel menunjukkan penghargaan batikology (nova.id)

Tabloidnova.com - Meski punya keterbatasan fisik, ia mampu menciptakan karya batik yang indah. Namun, ia membatik bukan dengan tangan, melainkan dengan kaki.

Setiap manusia pasti menginginkan bentuk tubuh yang sempurna. Punya kaki untuk berjalan, punya tangan beserta jari-jari untuk melancarkan aktivitas. Tapi itu tidak dimiliki Ayu Tri Handayani (25). Warga Banyuanyar, Banjarsari, Solo, ini tak punya tangan kanan, sementara tangan kirinya mengecil hingga siku. Praktis, ia juga tidak punya jari-jari tangan.

“Tak ada alternatif lain, saya harus menggunakan kaki untuk memperlancar aktivitas, menggantikan jari-jari tangan. Tapi saya berusaha tegar dan tetap semangat melanjutkan hidup, kok,” katanya.   Ayu terlahir dalam kondisi difabel seperti itu. Entah apa penyebabnya. Yang pasti, kedua orangtuanya tidak memiliki kelainan. Pun dengan kakak dan dua adiknya, mereka lahir dan tumbuh normal. Toh, kedua orangtuanya mendidiknya dengan sepenuh kasih. Kedua orangtuanya juga mendidiknya seperti kakak dan adik-adiknya yang lain.   “Meski difabel, orangtua mendidik saya menjadi pribadi yang kuat. Mereka mengajari saya mandiri dengan melakukan segala aktivitas keseharian sendiri. Makan, naik sepeda, menulis, mandi pun saya lakoni sendiri. Semuanya saya lakukan dengan jari-jari kaki. Jika orang-orang menggunakan jari tangan mereka, maka saya menggunakan jari-jari kaki saya,” katanya lagi. Tak ada nada menyerah dalam kalimat-kalimatnya.   Selain  dengan jari-jari kaki, Ayu juga menggunakan lengan kirinya yang mengecil. Misal untuk naik sepeda, ia akan mengapit setang dengan lengan kirinya itu. Begitu pun aktivitas lainnya. Ya, meski lengan kirinya mengecil, tapi sangat membantu melakoni kegiatan sehari-hari.   Hanya ada dua aktivitas yang tidak bisa ia lakukan. “Yang nggak bisa cuma memasang kancing baju dan mengaitkan hak celana atau rok. Kalau harus melakukan aktivitas itu, maka saya akan teriak memanggil kakak, adik atau ibu untuk membantu,” tuturnya.   Masuk SLB D

Meski memiliki kekurangan, Ayu mengaku tak pernah kehilangan masa kecil. Meski terkadang ada yang menyindir kondisinya, tapi ia tak peduli. Sang ayah dan ibu serta keluargalah yang menjadi penyemangatnya. “Kasih sayang mereka membuat saya kuat menjalani hidup,” akunya tegar.   Oleh orangtuanya, Ayu saya disekolahkan di YPAC di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Ia bersekolah di sana sejak memasuki bangku TK tahun 1997. Menurut cerita sang ibu, Ayu bisa disekolahkan di sana karena info dari tetangga yang kebetulan menjabat sebagai pengurus YPAC.   Saat duduk di bangku TK, sang bapak selalu mengantar dan menunggunya sampai selesai sekolah. Kemudian ketika SD hingga SMP, sang ibulah, kadang bergantian dengan sang nenek, yang menunggu Ayu pulang sekolah. “Tetapi,” akunya, “Sejak masuk SMA, saya  kadang diantar bapak, terus pulangnya naik angkot. Tetapi kalau tidak ada yang ngantar sekolah, ya berangkat sendiri naik angkot.”   Di YPAC, Ayu masuk kelas Sekolah  Luar Biasa Daksa (SLB D). Ia masuk ke kelas tersebut karena, berdasar aturan akademik, ia hanya ‘berkekurangan’ untuk urusan fisik. Untuk IQ, ia sama sekali tidak masalah alias normal.   Memulai Membatik   Ayu lulus SMP tahun 2008. Setelah itu, ia sempat berhenti sekolah selama setahun karena saat itu kebetulan belum ada jenjang SMA untuk SLBD-D YPAC. Tanpa diduga, ia mendapatkan telepon dari YPAC dan diminta untuk mengikuti pelatihan membatik.   “Awalnya saya sama sekali nggak minat membatik. Karena kalau lihat di televisi itu, membatik kok sepertinya rumit. Lagipula saya kan harus menggunakan jari kaki jika ingin membatik. Tidak mungkin membatik dengan lengan kiriku yang tanpa jari ini,” katanya menceritakan awal mula perkenalannya dengan seni membatik.   Akan tetapi, karena memang tidak ada tawaran mengikuti keterampilan yang lain, Ayu dengan terpaksa mengikuti pelatihan membatik yang ditawarkan itu. Padahal, ia awalnya pengen mendapat keterampilan meronce monte-monte. Dalam pandangannya, meronce monte ini lebih mudah dilakoni sesuai dengan kondisi tubuhnya.   “Inilah yang menjadi awal persentuhan saya dengan membatik. Saya sendiri tidak menduga kenapa bisa mengikuti kursus membatik. Namun, biarpun saya mengikuti kursus dengan terpaksa, saya masih punya dorongan untuk belajar membatik. Mungkin inilah yang bisa disebut rahasia Tuhan,” ujarnya.   Ayu mengikuti pelatihan dua kali seminggu. Tentornya dari Yogya. “Pesertanya ratusan. Setelah pelatihan, saya dan ratusan siswa ini diseleksi lebih lanjut untuk mengetahui peserta yang benar-benar memiliki bakat membatik.”   Tangan Tuhan kembali hadir saat Ayu terpilih dan dinyatakan memiliki bakat membatik. Hasilnya, empat peserta dinyatakan lulus membatik, dan Ayu adalah salah seorang di antaranya. “Tentu saja saya kaget,” tukasnya. Ayu masih ingat betul, bagaimana ia secara asal-asalan mengikuti pelatihan membatik. “Waktu itu saya lebih sering membatik motif bunga. Tapi, lantaran sudah disaring, saya kemudian mengikuti pelatihan membatik selama setahun.”   Lama-lama Suka

Cinta muncul karena terbiasa, begitu pepatah lama berkata. Rupanya, seperti itu juga yang terjadi pada Ayu. Lama-kelamaan, ia jatuh cinta pada seni membatik. Ia merasakan bagaimana membatik bisa membantunya untuk menjadi sabar dan lebih teliti. Ia pun merasa tertantang untuk bisa membatik dengan kaki.   Sembari mengikuti pelatihan membatik, Ayu melanjutkan sekolah ke jenjang SMA yang sempat tertunda. Kebetulan, tahun itu YPAC membuka SMA SLBD-D. Saat itu, instuktur membatiknya berganti, dari orang Yogya diganti dengan orang Solo. Instruktur membatiknya dari Batik Puspa Kencana, Solo.   Pelatihan mulai lagi tahun 2011. Tak disadari, talenta membatik Ayu kian terlihat. “Butuh waktu dua tahun  supaya lancar membatik. Saya pun merasakan bagaimana membatik dengan kaki itu sungguh tidak gampang,” katanya.   Dengan kaki kanannya, ia  menyalakan batang korek api. Sementara jari kakinya memegang lidi untuk menyulut sumbu kompor. Kompor kemudian dinyalakan. Ayu kemudian mengambil malam dan diletakkan dipanaskan di wajan. Dengan kaki, ia kemudian membentangkan kain. Setelah malam cair, Ayu segera membatik. “Posisi saya duduk dan mengapit canting menggunakan jari-jari kaki.”   Proses untuk lancar membatik dilalui Ayu dengan penuh kesabaran. Pada masa awal-awal membatik, kena cairan malam yang panas menjadi makanan sehari-harinya. Tak hanya itu, malam tumpah atau berceceran di kain juga biasa. Ayu mengaku, meskipun relatif sudah lancar membatik, ada saja kesulitan yang ia selalu temui saat membatik. Salah satunya Ia juga masih kesulitan untuk mengisi motif titik.   Kepiawaian Ayu membatik dengan kaki membuatnya punya pengalaman yang mungkin tidak akan dialami banyak orang. “Saya sering ikut pameran. Saat ikut pameran itu saya selalu berusaha unjuk kemampuan membatik dengan kaki.” Hasilnya, tak sedikit orang yang takjub dengan keterampilanku. “Di situ saya merasakan bagaimana orang yang berkekurangan seperti saya ini masih bisa berkarya lewat membatik dengan kaki.”   Membatik Di Rumah

Ayu pertama kali mengikuti pameran saat acara peresmian purna pugar cagar budaya Lawang Sewu, Semarang, Juli 2011. Ia masih ingat betul, cara membatiknya yang  menggunakan kaki itu sempat menarik perhatian istri Gubernur Jawa Tengah saat itu, Sri Hastuti Bibit Waluyo. Kala itu istri Pak Gubernur membeli dua lembar kain batik karyanya dengan harga sekitar Rp15 juta.   Dan, Tuhan punya cara lain untuk semakin menguatkan Ayu supaya terus membatik. Tuhan mempertemukannya dengan salah seorang pengusaha batik asal Solo, Abu Bakar (39). Pak Abu, begitu panggilannya, adalah tetangga sekampung keluarga Ayu. “Kebetulan, Pak Abu sering memperbaiki sepeda motornya di bengkel milik bapak. Pak Abu memiliki label batik sendiri yakni Batik Anak Negeri.”.   Suatu waktu, “Bapak cerita kalau saya ini bisa membatik. Karena penasaran, Pak Abu langsung meminta untuk menunjukkan hasil karya saya. Karena tertarik, Pak Abu menyanggupi untuk mengembangkan kemampuan membatik saya dengan kaki.”   Berawal dari situ, Ayu dan Pak Abu pun kemudian menjadi partner kerja. Pak Abu sering memberikan kain pola untuk kemudian Ayu yang membatik. Karena sebagai partner kerja, Ayu tidak diharuskan membatik di tempat produksi Pak Abu di  Tegalsari RT 02/ RW 7, Sondakan, Purwosari. Selain itu dengan membatik di rumah, Ayu lebih nyaman dan tidak terganggu saat mengerjakannya.   Ayu mengaku biasanya membatik lima lembar kain dalam sebulan, terkadang lebih. Setelah hasil karyanya lebih halus, bersama Pak Abu, Ayu terus mengikuti pameran untuk mempromosikan dan menjual karya batiknya.     Pameran pertamanya Ina Craft di JCC, tahun 2011. “Waktu itu nggak ada yang beli, tapi justru banyak kamera yang meliput saya,” ujar Ayu yang kembali mengikuti Pameran Gelar Batik Nusantara (GBN) pada 17 Juli 2013 lalu.   Kemampuan membatiknya dengan kaki menarik minat Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono untuk melihatnya dari dekat. “Waktu itu Pak Presiden dan Ibu Ani cuma tanya, sudah berapa lama membatik.” Meski cuma ditanya itu, Ayu mengaku merasakan kebanggan tersendiri. “Ternyata saya bisa melakukan hal-hal seperti orang normal lainnya, meski saya harus menggunakan jari-jari kaki.”   Selalu Bersyukur

Hasil karya Ayu ternyata juga menarik minat banyak pesohor untuk membeli. Ada beberapa pesohor yang melirik hasil karya Ayu, seperti Dipo Alam, Ginandjar Kartasasmita, Darwina Sutowo (istri Ponco Sutowo). Saat itu, harga batik dibanderol Rp 3 juta-Rp 10 juta.   Setelah lulus SMA tahun 2013, Ayu tetap menekuni batik. “Syukur alhamdullilah, mulai tahun itu pesanan membatik makin banyak. Mungkin setahun bisa lebih dari sepuluh karya batik yang saya hasilkan. Saya biasanya membanderol batik tulis karya saya mulai Rp5 juta. Semuanya tergantung kerumitan motif. Beberapa motif yang pernah saya buat adalah motif wahyu tumurun, pisang bali, dan burung cendrawasih,” katanya.   Di tengah-tengah rutinitas membatik itu, Ayu mengaku bersyukur mendapatkan anugerah dari Undip Awards dalam Kategori Kemanusiaan, Kreativitas dan Inovasi tahun 2014. Ia juga mendapat penghargaan Batikology Kategori Inspiring Woman dari Indosat tahun 2015.   Setahun belakangan, pesanan mulai menyusut lantaran ia mulai jarang mengikuti pameran. Meski demikian, Ayu akan tetap terus membatik. Terlepas dari menurunnya jumlah pesanan, ia selalu mengucap syukur. Pasalnya, dari kemahiran membatik dengan kaki itu Ayu kini sudah mulai bisa hidup mandiri. Dari hasil membatik ini ia bisa membeli kebutuhan pribadi. “Satu cita-cita besar saya yang belum kesampaian adalah membawa batik go internasional dan punya galeri batik sendiri.”

Fajar