Namanya pernah menjadi sorotan media setelah televisi rakitannya disita Kejaksaan Negeri Karanganyar dan dibakar karena dianggap ilegal. Tak pernah mengenyam pendidikan formal elektronika, pria kelahiran Andong, Boyolali, Jawa Tengah ini belajar elektronik secara otodidak sampai akhirnya hingga mampu merakit televisi dari tabung monitor komputer bekas.
Lulus SD tahun 1992, saya melanjutkan sekolah di pesantren, masih di sekitar desa saya, Andong, Boyolali. Dua tahun di pesantren, saya merasa enggak kuat. Jadi, saya memilih meninggalkan pesantren. Saya sepertinya enggak cocok di pesantren dan memilih pulang.
Sesampai di rumah, jelas saya dimarahi orangtua. Kata mereka, kenapa belajar setengah-setengah? Meski begitu, saya tetap enggak mau kembali lagi ke pesantren. Toh, meski hanya nyantri dua tahun, paling tidak ada ilmu yang saya peroleh. Semoga itu berguna buat hidup saya.
Sekitar tahun 1995, saya diajak seorang teman ke Jakarta. Saya diajak bekerja menjadi kuli bangunan. Walau masih muda, orangtua kasih izin. Lagi pula, mau bagaimana lagi? Latar belakang keluarga kami orang tidak mampu. Kerja apa pun asal halal saya lakoni.
Bicara soal kesukaan saya akan elektronik, itu sebenarnya sudah muncul sejak saya kecil. Saya belajar sendiri, utak-atik sendiri secara otodidak. Kalau ditotal, mungkin ketika itu lebih banyak barang elektronik yang saya buang ketimbang yang bisa saya benerin. Ha ha ha.
Rumah saya memang belum dialiri listrik, sehingga saya meminjam aliran listrik tetangga. Saya tarik kabel sendiri dari rumah tetangga. Sayangnya itu enggak lama, karena tetangga marah-marah. Katanya kalau listrik dipakai untuk utak-atik itu tagihannya mahal. Padahal sebenarnya enggak, tapi tetap saja listrik diputus dan saya dimaki-maki. Di kampung saya itu kayaknya enggak boleh liat yang nyeleneh-nyeleneh, pasti dimarahi. He he he.
Perjalanan saya sampai bisa membuat televisi lumayan panjang. Awalnya mulai dari radio. Saya bisa bikin radio sendiri. Caranya cukup coba-coba sendiri. Entah sudah berapa kali gagal terus. Tapi saya enggak menyerah dan terus berusaha. Beruntung, saya sering dapat pesanan menganyam rotan dan bambu, uangnya saya sisihkan untuk beli komponen elektronik.
Saya tertarik elektronik justru karena elektronik bagi saya adalah benda aneh. Saya ingin tahu sebetulnya, di dalam elektronik itu seperti apa sih. Walau waktu itu enggak ada alat macam-macam, hanya obeng, solder, dan otak saja. Enggak ada multi tester dan sebagainya.
Saya anak ke empat dari lima bersaudara. Yang lain jadi petani, saya aja yang nyeleneh. Bolak-balik belajar elektronik meski hasilnya terkena strum terus terusan. Ha ha ha. Tape Compo Rusak
Ketika tahun 1995 saya ke Jakarta dan bekerja menjadi kuli bangunan di proyek, saya dibayar Rp7.500 per hari. Makan nasi dan telur masih 800 perak, sisanya saya kumpulin. Saya juga rajin ambil lembur, lumayan setiap bulan bisa dapat lebih banyak untuk dibawa ke kampung. Ketika uang sudah kumpul, saya pun pulang kampung dan memasang listrik di rumah.
Soalnya saya kesal, listrik enggak ada di rumah saya, jadinya saya enggak bisa menyalurkan hobi elektronik. Saya masih terus belajar dan memuaskan keingintahuan saya seputar elektronik. Kalau ada hari libur, sering saya jalan ke pasar loak dan ngoprek elektronik.
Seiring berjalannya waktu, banyak juga barang elektronik yang saya buang karena enggak bisa diperbaiki. Entah sudah berapa banyak barang elektronik yang saya bongkar. Sampai kemudian datanglah masa reformasi. Proyek yang saya kerjakan berhenti total.
Pekerjaan susah, enggak ada proyek bangunan ketika itu. Akhirnya, saya memutuskan pulang kampung saja. Sebelum pulang, saya beli tape compo rusak di pasar Jatinegara seharga Rp80 ribu. Saya pulang dan berjanji enggak mau kembali ke Jakarta. Apalagi cari kerjaan di Jakarta juga susah.
Sesampai di rumah, saya bongkar tape compo dan coba saya betulin. Rencananya, kalau berhasil saya betulkan, akan saya pakai sendiri di rumah. Eh, ternyata, ketika berhasil saya benerin, ada teman yang suka tape itu dan mau membelinya. Ya sudah saya kasih harga Rp200 ribu, dan ternyata dia mau beli. Untungnya lumayan, kan?
Uang hasil penjualan tape saya saya belikan komponen dan radio break-break yang pakai saluran FM. Bentuknya seperti Orari untuk komunikasi antar pengguna layaknya HT. Dari situ, saya banyak kenal sesama pengguna HT yang ternyata banyakan ahli elektronika. Wajar karena kalau radio itu rusak, mereka bisa membetulkannya sendiri.
Waktu itu, orangtua menganggap saya makin aneh. Kerjanya break-breakan terus, enggak pernah ngapa-ngapain. Paling kegiatan lainnya servis radio tetangga buat beli uang rokok. Suatu ketika di tahun 1999, sepulang dari sawah bapak marah. Dia enggak suka lihat saya main terus. Saya juga marah, karena saya pikir saya yang pasang listrik itu dan saya berhak menggunakannya. Akhirnya, karena kesal, saya cabut semua kabel listrik dan saya pergi dari rumah.