Diajeng Lestari (1): Bisnis Berawal dari Passion

By nova.id, Sabtu, 3 September 2016 | 05:03 WIB
Diajeng Lestari (nova.id)

Ia berhasil membangun HijUp.com dan menjadikannya “kerajaan” e-commerce Islamic fashion pertama dan terbesar di Indonesia. Diajeng Lestari (30), begitu namanya, mengaku bahwa kesuksesan yang ia raih merupakan buah kerja keras dan doa yang tak putus. Jatuh bangun dan masa-masa prihatin pun sempat ia cicipi. Ibu dari Laiqa Anzani ini kini memiliki 120 karyawan dan dipercaya oleh 200 tenant.

Aku dilahirkan 17 Januari 1986 di Bekasi dan tumbuh dalam keluarga besar. Aku adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Kedua orangtuaku punya usaha yang membuat keluarga kami hidup sangat berkecukupan. Sepertinya, jiwa bisnis memang sudah mengalir dalam darahku, sama seperti mamaku yang kreatif dan tidak pernah habis ide untuk berjualan. Mulai dari mukena, tas ataupun suvenir yang ia dapat dari berbagai daerah.

Aku akhirnya suka melakukan apa yang mama lakukan. Ceritanya, dulu waktu masih TK, aku suka sekali membuat cerita bergambar. Tak hanya mendapat pujian dari guru, aku pun menambahkan cerita di balik gambar tersebut. Aku bahkan dijuluki sebagai si jago ngarang. Melihat banyak yang suka, aku kemudian menjual karyaku. Enggak laku sih, tapi, ya itu tadi, saat itu pun aku sudah punya ide untuk berbisnis.

Bisnis pertama aku mulai saat duduk di bangku kelas 4 SD Al-Azhar, Bekasi. Aku menemukan ide menjual cincin dari kabel telepon. Kebetulan, ayahku adalah pengusaha bidang telekomunikasi,  jadi banyak sekali material yang tidak terpakai di gudang. Kabel telepon berwarna-warni sukses kubuat menjadi cincin. Harga cincin yang kutawarkan pun bervariasi, untuk cincin dengan warna biasa harganya Rp1000, sedangkan cincin berwarna langka, seperti ungu bisa kujual dengan harga Rp6.000.

Rupanya, secara tidak langsung aku sudah bisa melihat nilai pada suatu barang. Aku tahu bahwa nilai cincin berwarna ungu lebih besar daripada nilai cincin berwarna putih. Barang yang unik tentu memiliki harga yang lebih mahal. Intuisi bisnis ini sudah kudapati kala itu. Bisnisku pun berjalan lancar, bahkan aku mampu menghasilkan uang hingga Rp16.000. Bayangkan, anak SD kelas 4 punya uang jajan sebanyak itu, hasil jerih paya sendiri pula.

Asyik berbisnis cincin sampai bahan baku kabel telepon habis, aku pun akhirnya harus berganti bisnis. Saat itu, gantungan kunci flanel tengah musim. Nah, aku menjual kain flanelnya. Wah, saat itu satu kelas pada pesan semua, hingga aku lebih sibuk berbisnis daripada belajar. Ha ha ha. Sampai akhirnya aku kena tegur guru dan diminta menutup usaha dan fokus belajar. Dulu, kurikulum, kan, tidak seperti sekarang. Ekspektasinya adalah dapat nilai rata-rata tinggi, jadi memang harus tekun belajar. Pokoknya, sistemnya beda, tidak seperti sekarang.

Krisis Moneter Hancurkan Keluarga

Kalau ditanya cita-cita, aku tidak pernah langsung menjawab ingin menjadi entrepreneur. Malahan, cita-citaku banyak banget. Pernah pengin jadi pembaca berita, manajer, banyaklah. Tetapi mungkin memang jalanku ada di bisnis. Jalan yang membawaku untuk mengenal usaha juga sudah tampak sejak dini. Dan itu jadi bekalku.

Lulus SD, aku pun melanjutkan sekolah di SMPN 252 Jakarta. Sayang, saat itu krisis moneter ikut menghabiskan perusahan orangtuaku. Ekonomi keluarga hancur, usaha orangtuaku kala itu bangkrut. Aku mengalami perubahan yang cukup drastis, pokoknya beda 180 derajat. Aku yang biasanya naik turun mobil untuk ke sekolah, waktu itu bahkan harus jalan kaki, karena hanya dapat uang saku Rp500 saja.

Ya, masa-masa prihatin dan susah membuatku lebih kuat. Aku juga tak pernah sekalipun membeli buku pelajaran. Semuanya kucatat dan kutulis demi berhemat. Tetapi, dengan keterbatasan yang ada, aku malah jadi juara kelas. Beberapa temanku sampai heran, kok, aku yang enggak punya satu buku pun malah bisa juara kelas. He he he.

Di masa-masa prihatin ini, aku pernah merasakan enggak bisa jajan dan membawa bekal makan dari rumah, roti dipotong tiga atau kadang membawa singkong rebus yang dibawakan nenek. Aku memang tak pernah lagi berbisnis saat itu, karena fokus belajar untuk menunjukkan prestasi.

Ironisnya, rumahku yang memang cukup besar, kira-kira luasnya 500m2, membuat orang tetap menganggap kami orang kaya. Padahal di dalam rumah kosong itu, nenek bahkan memasak menggunakan kayu bakar dan memasak sayur yang ditanam di belakang rumah.