Tak Ada Otopsi, Dokter yang Memberi Formalin ke Jenazah Mirna Heran

By nova.id, Kamis, 8 September 2016 | 11:18 WIB
Terdakwa Jessica Kumala Wongso saat mengikuti sidang saksi kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (nova.id)

Salah satu saksi kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Djaja Surya Atmadja, menceritakan pengalamannya yang sempat memberi formalin kepada jenazah Mirna. Kesaksian Djaja diungkapkan dalam sidang lanjutan mengadili terdakwa kasus pembunuhan Mirna, Jessica Kumala Wongso, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).

"Saat saya disuruh formalin jenazah, saya ada tanya, kenapa dia matinya. Saya dikasih tahu, katanya habis minum kopi terus mati. Saya pikir, ini kematian tidak wajar, habis minum kopi mati, apalagi orangnya masih muda," kata Djaja di hadapan majelis hakim.

Didasari pemikiran tersebut, Djaja turut menanyakan kepada penyidik, mengapa jenazah Mirna sudah diminta untuk diformalin. Sementara, belum ada permintaan penyidik terhadap dokter untuk memeriksa jenazah secara forensik atau melaksanakan proses otopsi.

"Saya dilema juga. Wajarnya, jenazah di bawah 24 jam itu tidak perlu diotopsi. Kalau sudah di atas 24 jam, bisa busuk. Tapi, jenazah ini kan belum diotopsi, masa sudah diformalin. Kata penyidik, pihak keluarga tidak mau korban diotopsi. Itu yang bikin saya dilema, karena setelah diformalin, penyidik sudah tidak bisa otopsi jenazah lagi," tutur Djaja.

Namun, sebelum diberi formalin, Djaja sempat mendiagnosa penyebab kematian Mirna secara sederhana, yakni dengan mencium aroma dari dalam tubuh. Caranya, dengan menekan bagian dada dan ulu hati lalu menghirup aroma yang keluar dari mulut.

Jika didapati aroma seperti kacang almond busuk, bisa dipastikan kematian karena keracunan sianida.

"Kalau aroma bawang, berarti keracunan arsen. Saya sudah coba, tidak ada aroma bawang maupun kacang almond busuk. Sayangnya, tidak ada permintaan otopsi dari penyidik. Kami sebagai dokter forensik hanya menjalankan tugas dan perintah. Kalau ada permintaan otopsi, akan diotopsi. Kalau tidak, ya tidak," ucap Djaja. (Baca: Otopsi Masih Jadi Standar untuk Tentukan Sebab Kematian)

Terlebih, sudah ada surat kematian yang dikeluarkan dokter di UGD Rumah Sakit Abdi Waluyo sebelumnya. Dalam pandangan Djaja, jika surat kematian sudah dikeluarkan, maka kematian dianggap wajar. Kematian dianggap tidak wajar jika ada rekomendasi pemeriksaan forensik dari dokter di UGD dan telah diketahui apa penyebab kematian setelah dokter forensik selesai memeriksa jenazah.

Andri Donnal Putera / Kompas.com