Perjuangan Amalia Prabowo Besarkan Anak Disleksia: "Aqil Tercipta Untukku...."

By nova.id, Jumat, 14 Oktober 2016 | 06:15 WIB
Memiliki buah hati disleksia dan berjuang membesarkan mereka mengubah hidup Amalia Prabowo (nova.id)

Meski hidup mapan kini jauh dari keseharian, Amalia Prabowo (48) merasa hidupnya lebih damai. Ia justru bersyukur kisah hidupnya berjuang sendirian mengasuh kedua anaknya yang mengalami gangguan disleksia mampu membuat dirinya lebih baik.

Bagaimana Amalia melewati hari-hari tersebut, kemudian dikisahkan dalam film layar lebar Wonderful Life yang tayang di bioskop mulai 13 Oktober 2016 ini. Semua bermula dari apa yang diyakininya sejak muda.

Namaku Amalia Prabowo. Di dunia periklanan, aku memang sudah malang melintang lebih dari 20 tahun. Aku bahkan pernah berada di puncak karier dengan menjabat sebagai CEO. Tentu saja semuanya kuperoleh dari hasil kerja keras, karena aku memulai karierku dari nol. Semua tahap karierku sudah kurencanakan sejak remaja.

Semua itu berkat ayahku yang selalu mendidikku dengan penuh kedisiplinan. Aku bungsu dari empat bersaudara. Sejak kecil aku tinggal bersama keluargaku di Malang, Jawa Timur.

Papa selalu bilang, beliau tidak akan mewariskan harta, melainkan ilmu dan karakter. Mau bahagia atau tidak, kelak aku mau jadi apa, hal itu sepenuhnya ada di tanganku. Aku yang menentukan.

Bahkan, saat remaja lain seusiaku merayakan ulangtahun ke-17, papa memintaku menulis apa saja yang akan kucapai dalam lima tahun ke depan setelah usia tersebut. Dalam matriks itu, ada lima poin utama yang harus kuisi, yaitu  target dalam bidang karier, finansial, relationship, spiritual, dan family.

Jadi, umur 17 aku sudah tahu kelak aku mau jadi apa, mau sekolah di mana, masih mau minta uang atau cari uang sendiri, kapan mau punya pacar, kriteria seperti apa pacar yang aku cari, dan apakah aku akan kos, sekolah di luar negeri, akan jauh dari keluarga atau tidak.

Lulus kuliah, advertising agency atau agensi periklanan saat itu sedang menjadi tren baru yang keren. Meski kuliah di bidang yang sosiatri Universitas Gajah Mada, aku malah tertarik bidang periklanan tersebut. Akhirnya, sebagai gerbang masuk, kuputuskan melamar menjadi resepsionis. Dengan IPK 3,8, aku diterima.

Dalam waktu 10 tahun, sesuai jenjang karier aku sudah harus jadi CEO. Itu rencanaku. Dari resepsionis kemudian aku bisa masuk lebih jauh ke dunia periklanan. Meski semua yang bekerja di sana ternyata anak duta besar dan semuanya berbahasa Inggris, namun, setiap mau bikin iklan dan harus riset dahulu, hanya aku lah yang mau mengerjakan. Akhirnya, yang dilihat klien adalah Amalia Prabowo. Mulailah namaku mendapat tempat di industri ini.

Tahun 2010, aku berhasil menjadi CEO perempuan pertama di perusahaan advertising multinasional. Aku sangat total dalam bekerja, karena papa selalu bilang, hidup ini harus aku cintai, apa pun yang kuhadapi.

Sayangnya meski sukses berkarier di dunia advertising, kehidupan pribadiku tak semulus itu. Aku menikah dengan pria yang juga berasal dari kalangan ningrat dan berpendidikan tinggi. Sama sepertiku, ia juga mengutamakan karier dan tak ingin punya anak.

Namun, semua rajutan indah mahligai pernikahan itu hancur ketika suatu hari, setelah aku pulang dari studi di Australia, seorang perempuan datang ke rumah dan mengaku mengandung anak suamiku.

Perempuan itu menangis sambil meminta maaf, tapi sekaligus kaget karena aku tak menangis atau marah. Tak ada air mata atau emosi sama sekali. Aku hanya berpikir rasional.

Menurutku saat itu, manusiawi seorang suami yang ditinggal lebih dari setahun tertarik pada perempuan lain. Dan perempuan itu bisa memberinya anak, sedangkan aku tidak. Sementara, sebagai ningrat dia dituntut keluarganya memiliki keturunan. Maka, aku pun bercerai dari suamiku.

Setelah 2-3 tahun single, aku menikah dengan pria yang kemudian menjadi mualaf. Aku melahirkan dua anak, yaitu Aqillurachman Prabowo (11) dan Satria Azzam Nail Prabowo (8).

Sayang, setelah 8 tahun, suamiku memutuskan untuk kembali ke agama lamanya. Kami pun bercerai baik-baik. Lagi-lagi, tak ada air mata. Kuanggap semua itu biasa saja, karena aku sangat rasional.

Ditampar Ucapan Sopir Taksi

Namun, setelah puluhan tahun tak pernah menangis, akhirnya air mataku tumpah juga. Awalnya, aku tak sadar ada sesuatu yang berbeda pada Aqil. Aku tahu dia belum bisa membaca, tapi kupikir itu wajar pada anak seusianya yang baru masuk SD.

Anehnya, sampai umur tujuh tahun, dia belum bisa membaca dan berhitung juga. Karena itu, Aqil kuanggap bodoh dan malas.

Di sekolah pun, dia jadi bulan-bulanan teman-temannya dan dicap bodoh. Ketika usianya 9 tahun, aku dipanggil ke sekolahnya dan diberitahu bahwa mereka tak sanggup lagi mendidik Aqil. Aku terpukul mengetahui Aqil tak punya masa depan akademis.

Sejak dulu, semua hal dalam hidupku berada di bawah kendaliku. Kini, runtuh rasanya duniaku. Padahal, sejak Aqil masih dalam kandungan, perpustakaan untuknya sudah kubuat. Tumbuh kembangnya seperti apa, sudah kurencanakan. Mendapati Aqil menyandang disleksia sungguh meluluhlantakkan semuanya.

Keluar dari sekolah, kuminta sopir taksi mengantarku pulang. Saat itulah, di dalam taksi, aku menangis sejadi-jadinya, untuk pertama kalinya setelah setelah puluhan tahun. Melihatku menangis, sopir taksi yang kutumpangi bertanya. Aku kaget dan terhina. Siapa dia, sampai berani mengajakku bicara?

Aku yang berasal dari keluarga yang sangat berada dan ningrat memang tak pernah bicara secara langsung pada pembantu. Kalau ingin mengatakan sesuatu pada pembantu, kami sampaikan lewat kepala urusan rumahtangga. Itu sebabnya, aku merasa sangat terhina dan marah ketika sopir taksi itu berani mengajakku bicara.

Lalu sopir taksi itu menyuruhku melihat sepasang suami istri yang mengendarai motor bersama kedua anaknya. Seketika ia bilang, “Ibu masih beruntung, anaknya sekolah di sekolah mahal, pulang naik taksi ber-AC. Sementara bapak itu tidak. Dia hanya ingin pergi mengantar anak-anaknya pergi, tapi enggak punya kendaraan. Di luar panasnya luar biasa, tapi mereka tertawa-tawa. Ibu mau menangisi apa lagi? Ibu enggak bersyukur banget sih,” ucap sopir itu lagi.

Seketika itu juga, aku merasa tertampar oleh ucapannya. Harusnya aku bersyukur. Sampai di rumah, aku minta maaf pada mama dan mengambil kembali Aqil yang selama setahun terakhir kuserahkan pengasuhannya pada mama karena aku lebih mementingkan karierku.

Cari Pengobatan Disleksia

Ucapan sopir taksi menjadi titik balikku. Saat itu aku sadar, ada tangan lain yang mengatur hidup ini, yaitu tangan Tuhan. Sejak itulah, aku mulai melibatkan Tuhan dalam kehidupanku. Aku mulai sibuk mencari pengobatan untuk Aqil, sampai akhirnya bertemu psikolog yang bagus. Aku dilatih lebih dulu, lalu terapi Aqil dimulai.

Salah satunya, harus hiking. Dan untuk menuju ke sana tak boleh bawa mobil sendiri, melainkan harus naik angkutan umum sebab banyak kejutan yang akan didapati, mulai dari bau tidak enak dan lainnya sehingga otaknya akan terangsang oleh berbagai hal dan listrik di otaknya akan hidup.

Dengan begitu, daya konsentrasinya akan panjang. Ini berbeda dibanding naik mobil, tidur sampai di tempat hiking.

Lantaran Aqil disleksia, segera adiknya, Satria, juga kuperiksakan. Ternyata, Satria juga sama. Kalau Aqil terapi ke psikolog, dia ikut diterapi. Karena kedua anakku disleksia, aku jadi mengenali bentuk tulisan anak disleksia.

Ternyata, semua anak penyandang disleksia di dunia ini bentuk tulisannya sama. Barangkali orang bertanya-tanya bagaimana aku bisa kuat menghadapi semua ini sendirian? Rahasianya, karena terbiasa melakukan plan, do, review, aku langsung memikirkan rencana selanjutnya.

Aqil mulai masuk usia pubertas, aku harus mulai menyiapkan dia agar siap masuk ke lingkungan sosial yang lebih “seram”, sementara Satria juga harus mulai diperhatikan. Persiapannya memang jauh lebih kompleks dan menangani Satria tentu butuh metode yang berbeda dari Aqil.

Bagaimana caraku mengajari mereka?