Hidup dalam kondisi penuh keterbatasan tak membuat Sugeng Widodo dan ibunya, Sumirah, yang berusia 73 tahun putus asa.
Meski hidup miskin, warisan bagi Sugeng dari ibunya adalah keinginan kuat untuk terus hidup dengan bekerja amat tinggi.
Sumirah bersama sang anak, Sugeng, saban hari bekerja memulung barang-barang bekas di jalanan. Botol plastik menjadi buruan utamanya.
Hampir tiap hari, Sumirah duduk di dalam gerobaknya dari rumahnya di kawasan Pasar Kranjangan, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.
Baca: Tukang Parkir Ini Berangkat Naik Haji Setelah 31 Tahun Menabung
Sejak pukul 06.00 WIB, mereka mulai beraktivitas. Sesekali ketika hujan tiba, keduanya berteduh.
Senin (24/10/2016) tadi, hujan turun dan keduanya terlihat berteduh di bawah rindangnya pepohonan di Jalan Pandanaran Semarang, atau di depan kantor Keuskupan Agung Semarang.
Ketika terik matahari menyengat, keduanya meneduhkan diri di bawah rindangnya pepohonan.
Sumirah tetap berada di atas gerobaknya, sementara sang anak setia menunggu di atas trotoar jalan.
Dia pun tampak “cuek” ketika para pengendara kendaraan bermotor meliriknya. “Saya bisanya duduk di gerobak, kaki saya lagi sakit," kata Sumirah, nenek 73 tahun ini.
Baca: Inilah Firna Larasanti, Putri Pemulung Sampah Raih Gelar Sarjana dengan Predikat "Cum Laude"
Sang anak, Sugeng, mengatakan, ibunya terpaksa dibawa lantaran di rumah tidak ada yang mengurus.
Dia tak tega meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Sang ibu juga sudah sejak dulu bekerja memulung barang bekas di Jakarta.
Sembari memulung, Sugeng pun nekat membawa ibunya. Ketika gerobak dijalankan, perempuan yang duduk di dalamnya itu sesekali diliriknya.
"Di rumah tidak ada siapa-siapa. Adik saya kerja, kasihan kalau ditinggal di rumah. Ibu sudah tua, sudah mulai dan sakit-sakitan, jadi mau enggak mau diajak naik gerobak," ujarnya.
Baca: Cinta Kasih Seorang Ibu yang Rela Kurang Tidur Demi Menjaga Anaknya
Sugeng mengucapkan, ketika melepas penat di trotoar Jalan Pandanaran, yang hampir tiap hari dilakukannya, ada pengendara yang iba melihat ibunya di dalam gerobak. Namun tak sedikit yang hanya melihat perjuangan mereka.
Segelas air mineral hingga sebungkus roti sesekali diterima dari para pengendara yang memberinya.
Ketika diberi, makanan itu lalu dimakan berdua. Ketika bekerja memulung, botol plastik yang didapatnya tak selalu banyak.
Sugeng terkadang mendapat banyak botol bekas, namun kadang beberapa botol saja. Uang yang diterima pun tak pasti, dari Rp 3.000 hingga Rp 5.000. Rutinas itu dilakoninya beberapa tahun terakhir.
Semula, keduanya memulung di Jakarta, namun karena kesehatan menurun, keduanya terpaksa pulang kampung dan bergantian memulung di Semarang.
"Saya cuma dapat beberapa botol saja, cuma ini yang bisa saya lakukan untuk menghidupi ibu saya,” kata dia.
Hasil rongsokannya lalu dijual ke tetangga rumahnya yang berprofesi sebagai pengepul barang bekas. Keduanya bekerja tiap hari sejak pagi hingga kembali ke rumah usai shalat Zuhur.