Begini Kisah Hidup Ningsih, TKW yang Dibunuh Bankir di Hongkong

By nova.id, Kamis, 27 Oktober 2016 | 07:21 WIB
Sumarti Ningsih, perempuan Indonesia yang diduga tewas dibunuh di Hong Kong (nova.id)

Miskin dan kurang berpendidikan, itulah kondisi Sumarti Ningsih.

Perempuan kelahiran 22 April 1991 ini hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar yang dia selesaikan pada 2004. Orangtuanya meminta Ningsih untuk terus sekolah, tetapi dia yang ketika itu masih berusia 13 tahun tahu bahwa keduanya tidak memiliki cukup uang.

Selepas SD, Ningsih memutuskan untuk bekerja pertama kali dengan merantau ke Jakarta.

Kepada VOA, Suratmi, ibu dari Ningsih bercerita panjang lebar, mengenai bagaimana anak perempuannya itu kemudian berpindah-pindah kerja dari Jakarta, Bandung, hingga ke Bangka Belitung.

Ningsih bekerja sebagai perawat bayi. Di Bangka Belitung, dia bertemu seorang laki-laki dan kemudian hamil. Dalam usia kehamilan 2 bulan, Ningsih pulang ke Cilacap. Laki-laki yang memberinya anak itu, ternyata sudah memiliki istri di Semarang, Jawa Tengah. Mereka kemudian menikah siri, namun seminggu setelah Ningsih melahirkan pada November 2009, pria itu pergi dan tak pernah terdengar kabarnya lagi.

Baca juga: Ini Janji TKW Asal Hongkong kepada Bapaknya Sebelum Tewas

Terbelit kemiskinan, dengan bayi laki-laki yang membutuhkan biaya perawatan, Ningsih akhirnya memutuskan untuk kembali merantau. Dia kembali bekerja di Jakarta ketika bayinya baru berumur 40 hari. Tahun 2011, ia pergi ke Hong Kong melalui sebuah perusahaan pengirim buruh migran.

“Ya, karena orangtuanya ini orang yang nggak punya, kurang segala-galanya. Dia juga sudah punya anak, punya suami nggak jelas, jadi ya, nekat ke luar negeri untuk menghidupi anaknya, orangtua sama saudaranya. Soalnya cari rezeki di Indonesia hasilnya kurang, nggak seberapa. Jadi ya, mana yang hasilnya besar yang dia cari, jadi akhirnya ke Hong Kong," ujar Suratmi.

Di Hong Kong, Ningsih pertama kali bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menurut Suratmi, anaknya rajin berkirim uang ke rumah meskipun jumlahnya tak pasti, antara Rp 3 juta sampai Rp 6 juta.

Dari kiriman uang itulah, kebutuhan anak Ningsih dipenuhi, demikian juga dengan kebutuhan orangtua dan adiknya.

Namun nasib berkata lain. Tanggal 1 November 2014, mayat Ningsih ditemukan membusuk di dalam sebuah koper. Dia diduga dibunuh bankir Inggris bernama Rurik Jutting. Polisi memperkirakan, Ningsih dibunuh lima hari sebelum ditemukan. Selain mayatnya, ditemukan pula Seneng Mujiasih, buruh migran lain, yang tergeletak bersimbah darah di apartemen mewah milik Jutting.

Sumber: VOA Indonesia