Berkali-kali diserang kanker yang berbeda, semangat hidup Tri Handayani selalu berhasil jadi pemenang. Bahkan, semangatnya makin besar, meski kini organ tubuhnya banyak yang rusak. Simak penuturannya pada NOVA bagaimana perjuangannya melewati itu semua itu.
Seandainya dulu aku lolos tes polisi wanita (Polwan), mungkin sekarang aku sudah jadi polisi, bukan guru mengaji seperti sekarang. Namun, jalan hidup seseorang siapa yang bisa mengira. Manusia berencana, Tuhan menentukan. Itulah yang terjadi padaku. Aku, Tri Handayani, anak ketiga dari lima bersaudara dan satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku. Mungkin lantaran semua kakak dan adikku lelaki, aku jadi menyukai semua hobi dan kegiatan anak laki-laki.
Sejak kecil, aku yang lahir pada 1970 dan besar di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, amat tomboi. Bermain sepatu roda, bersepeda kiloan meter, main bola, enggrang, dan ketapel jadi kegiatanku sehari-hari. Oleh bapak, aku juga diikutkan klub renang. Sementara, mama yang ingin mengembalikan kodratku sebagai anak perempuan, mengikutkanku les tari Bali dan tari Jawa di sanggar milik Bagong Kussudiarjo, tapi tak bertahan lama.
Tahun 1978, aku dan keluargaku pindah ke Bekasi. Setelah duduk di bangku SMP, olahragaku antara lain voli, basket, dan karate. Karate bahkan kutekuni selama 7-8 tahun saat itu, sampai aku menyandang sabuk hitam. SMA kelas satu, aku mulai jadi atlet yunior karate dan sering ikut berbagai kejuaraan, termasuk Porda. Belum lagi, kegiatan pecinta alam, Pramuka, Paskibra, dan OSIS. Ibarat kata, aku tak pernah mengenal kata lelah dalam hidupku saat itu.
Energiku sangat besar dan kuat, fisikku pun prima. Aku malah tak suka kegiatan yang berbau perempuan dan tak senang menghabiskan waktu untuk mengobrol ini-itu yang tidak jelas juntrungannya. Setelah lulus SMA, aku bercita-cita jadi polwan. Aku pun mengikuti serangkaian tes, tapi pada tes penetapan terakhir di Lido, Sukabumi, aku gagal. Bapak tak mau mengatrol nilaiku dengan uang agar aku bisa diterima. Menurutnya, kalau dari awal sudah tidak baik, selanjutnya juga tidak akan baik. Maka, aku berusaha menerima kenyataan harus menggantung cita-citaku sebagai polwan.
Kehilangan Bapak
Aku kemudian bekerja di sebuah perusahaan elektronik di kawasan industri MM 2100 di Bekasi, bagian quality assurance (QA). Tahun 1991 itulah, aku mulai mengenal Islam lebih dalam karena perusahaan ini punya nilai agama Islam yang sangat kental. Fasilitasnya pun lengkap, dari sarana ibadah seperti masjid, pengajian untuk pegawai, kegiatan-kegiatan rohani, sampai perlengkapan baju muslim ada.
Aku mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hidupku. Saat itulah, aku mulai mengubur impianku menjadi polwan. Baju-baju renang dan voli yang seksi, juga baju karate kusimpan semua. Aku ingin menjadi Tri Handayani yang baru, yang memiliki pemahaman baru terhadap agama, di mana aku akhirnya bangga dan kembali pada kodratku sebagai perempuan seutuhnya.
Aku ingin menunjukkan bahwa perempuan yang baik itu yang berakhlak bagus, bukan yang egois, pemarah, hobi trek-trekan motor, dan suka tawuran seperti aku sebelumnya. Dulu, motor yang kukendarai motor lelaki. Aku juga bisa menyetir truk, bus, dan forklift, bahkan sampai “tertangkap” orang Jepang yang bekerja di sana, karena sebetulnya perempuan dilarang mengemudikan forklift.
Tahun 1992, aku mulai menutup aurat dengan berhijab. Selain banyak mendatangi guru mengaji, aku juga banyak menghadiri kajian-kajian Islam. Tahun berikutnya, aku mulai mengajar. Mulanya di rumah saja, mengajar mengaji Alquran. Selain bekerja, aku juga berdakwah terutama pada hari Sabtu dan Ahad.
Baca juga: Cerita Mereka Menjadi "Survivor" Kanker
Tahun 1993 aku mulai sering sakit. Padahal, dulu kata mama, di antara anak-anaknya yang lain, akulah yang tidak pernah sakit dan dibawa ke dokter karena tubuhku selalu sehat. Tahun itu juga, aku juga mulai kuliah. Waktuku sungguh padat. Pagi sampai sore bekerja, sore sampai malam kuliah. Lama-kelamaan, aku mulai sering merasa lelah bekerja, lelah berpikir, juga lelah beraktivitas mengajar, sehingga mulai sering sakit. Apalagi, aku berdakwah tak hanya di rumah.
Tahun 1994, bapak meninggal. Aku merasa sangat kehilangan. Aku dan bapak seperti dua sisi mata uang.
Bapak adalah cerminanku dan aku adalah copy paste bapak, dalam hal sikap kerasnya, daya juangnya, tidak pernah menyerah, dan kekuatan hatinya. Meninggalnya bapak membuatku merasa seperti kehilangan setengah jiwaku. Untuk melupakan kesedihanku, aku mengambil satu kuliah lagi. Jadi, di tengah kesibukanku, kuliahku ada dua. Benar-benar tidak ada waktu istirahat. Makan pun jadi tidak teratur. Aku ingat, itulah awal aku keras dalam bekerja.