Maizidah Salas: Motivasi dari Sang TKI Ilegal (Alumni Perempuan Inspiratif NOVA 2015)

By nova.id, Selasa, 15 November 2016 | 03:15 WIB
Maizidah Salas: Motivasi dari Sang TKI Ilegal (Alumni Perempuan Inspiratif NOVA 2015) (nova.id)

Pengalaman membantu TKI yang bermasalah di negeri orang mendorong Maizidah Salas yang kala itu jadi TKI ilegal mendirikan Kampung Buruh Migran di Wonosobo usai dideportasi. Ia mengajari mereka mandiri. Hasilnya, para perempuan itu enggan kembali jadi TKI karena kini punya usaha. Maizidah juga menjadi motivator bagi buruh migran di berbagai daerah.

Belajar dari pengalaman sebagai perempuan tak berpendidikan dan tak punya keberanian, ia meneruskan sekolah di Kejar Paket C di Jakarta. Ia kemudian berhasil menyelesaikan gelar sarjana Hukum Perdata dari Universitas Bung Karno, Jakarta. Kini, ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Jerman.

“Ada dua sebab yang mendorong saya jadi TKI, ekonomi dan broken heart,” kata Maizidah Salas. Waktu kelas 1 SMA, ia diperkosa seniornya saat kegiatan pramuka di sekolah. Saking stresnya, Maizidah tak mau sekolah dengan alasan sakit. Ketika berani kembali bersekolah, teman-teman dan guru mencibirnya. ”Mereka menyindir apakah kalau sudah tak gadis masih akan laku. (Suara Maizidah bergetar menahan tangis.) Saya makin down dan tak mau sekolah lagi.” 

Tahun 1992, keluarga akhirnya meminta si pemerkosa menikahi Maizidah. Namun, setelah menikah, bukannya kebahagiaan yang ia peroleh melainkan siksaan demi siksaan dari sang suami. Kalau sampai siang belum disiksa, ia justru malah bertanya-tanya. Waktu hamil, siksaan tak berhenti, sampai saya berniat bunuh diri. Ketika saya mau loncat, air ketuban pecah dan suami berhenti memukul karena ketakutan.” 

Setelah anak lahir, dia tidak berubah, bahkan tak pernah menafkahi. Maizidah tetap berusaha bertahan. Suatu hari, ia mendengar kabar suaminya tinggal di Jakarta bersama perempuan. “Saya stres sampai sakit dan dirawat di rumah sakit. Pulang dari rumah sakit, saya merasa harus keluar dari kampung saya di Wonosobo (Jateng) untuk melupakan semua peristiwa pahit dalam hidup.”

TKI Ilegal

Maizidah kemudian memutuskan menjadi TKI ke Korea pada 1996. “Modalnya utang ke bidan desa. Ketika saya menelepon enam bulan kemudian, saya dikabari saya sudah dicerai suami karena perempuan yang tinggal bersamanya hamil besar dan minta pertanggungjawaban. Detik itu juga saya merasa menjadi perempuan merdeka. Saya langsung sujud syukur.”

Namun, masalah masih tetap mengikuti Maizidah. Tahun 1998, Korea terkena krisis ekonomi dunia, perusahaan tempatnya bekerja kolaps. Akhirnya kami semua dipulangkan. Setahun di rumah, ia malah makin stres memikirkan siapa yang akan membiayai anak, status janda, dan lainnya. Akhirnya ia berangkat ke Taiwan tahun 2001. Di Jakarta, sebelum berangkat ke Taiwan, saya ditipu dan uang Rp10 juta hasil jual kebun untuk mendaftar hilang.

Ia kemudian pindah PJTKI. Namun, ternyata ia masuk ke “neraka” berikutnya. Selama tiga bulan di penampungan di Jakarta, bersama calon TKI lainnya ia dilarang keluar dan menelepon, tidur pun di ubin tanpa kasur dan bantal. Kami juga disuruh membersihkan kantor PJTKI itu dan memasak.

Akhirnya ia berangkat ke Taiwan. Ia mendapat majikan yang semena-mena. “Saya tidak boleh libur, cuti, terima gaji, atau bicara dengan orang lain selain keluarga majikan. Bulan keempat, saya dipindah ke majikan baru. Pasangan majikan ini sangat baik dan tidak punya anak. Tugas saya hanya bersih-bersih dan menjaga rumah. Saya disayang majikan.”

Namun, bulan keempat ia dijemput agen karena majikan pertama tak bisa mengambil pembantu baru sebelum Maizidah dipulangkan ke Indonesia. “Saya menolak pulang. Dalam perjalanan setelah keluar dari rumah majikan, si agen berusaha memperkosa saya tapi gagal. Atas saran teman-teman sesama TKI, saya melarikan diri dari kantor agen tanpa membawa apa pun. Sejak itu saya jadi TKI ilegal.”

Korban Trafficking

Setelah mengalami berbagai masalah, ia akhirnya mendapat pekerjaan di pabrik yang lumayan hasilnya. “Saya lalu menyewa apartemen bersama teman sedesa yang dulu juga tertipu bareng saya. Apartemen kami gunakan untuk menampung teman-teman yang sedang kena masalah. Apartemennya hanya punya satu kamar. Saya memberi mereka makan, mencarikan pekerjaan, dan sedikit uang. Meski hanya bisa membantu sedikit, saya senang. Dari situ saya melihat, TKI resmi juga banyak yang bermasalah.

Selama empat tahun ia bekerja secara ilegal dan bisa dibilang tak punya uang karena habis untuk membantu teman-teman dan hidup saya sendiri. Sampai akhirnya ia ditangkap dan ditahan, kemudian dideportasi ke Indonesia.

Pulang ke Wonosobo, ia membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo (SPMW) dan menjadi ketua. Karena jumlah peserta makin banyak, 229 orang yang semuanya mantan TKI bermasalah, organisasi ini kemudian diberi nama Kampung Buruh Migran (KBM).

Untuk kelompok korban trafficking, biasanya sebulan sekali diadakan diskusi atau sharing, misalnya program dari pemerintah, pelatihan, simpan pinjam, laporan keuangan dari usaha-usaha kelompok. Sekarang ada 31 kelompok, masing-masing 15-26 anggota, di 3 kecamatan di Wonosobo, dan semuanya sudah punya usaha sendiri.

Ada yang berbisnis kambing, pisang Cavendish, toko sembako, dan sebagainya. KBM juga dijadikan proyek percontohan komunitas buruh migran di berbagai daerah, termasuk yang dibentuk BNP2TKI, antara lain di Malang, Banyuwangi, Lampung, dan Sukabumi.

Hasuna Daylailatu

Foto: Romy Palar/NOVA