Cerita Menegangkan Warga Indonesia Diguncang Gempa Selandia Baru

By nova.id, Selasa, 15 November 2016 | 06:09 WIB
Agi Cakradirana dan suami -sehari sebelum gempa dan tsunami (nova.id)

Gempa hebat di Selandia Baru yang disusul tsunami pada Senin (14/11) dini hari menewaskan setidaknya dua orang. Agi Cakradirana, seorang perempuan Indonesia di Christchurch, Selandia Baru, berkisah tentang kecemasan dan pengalamannya. Begini ceritanya.

Sejak Senin pagi, setidaknya ada empat kali gempa susulan yang cukup besar. Saya sudah mulai merasakan gempa, Minggu jam 12.02 waktu setempat. Terasanya lama sekali. Ternyata memang susul menyusul.

Saya pribadi tidak panik karena sudah pengalaman merasakan gempa di Aceh dan Maluku Utara. Dan suami saya juga warga Selandia Baru. Jadi, saya lebih tenang. Cuma saya sempat berpikir: Kok lama sekali rasanya gempa tersebut.

Kemudian yang muncul di benak saya adalah: Waduh, barangkali ini gempa karena dampak Alpine Fault -retakan di lempengan Alpine (hampir sepanjang pulau selatan Selandia Baru), karena dua hari lalu baru ke kota kecil Hanmer di selatan.

Ketika melalui kota kecil Culverden, kami sempat mengobrol, "kalau terjadi Alpine Fault, kawasan ini akan hancur lebur." Namun demikian, setelah gempa pertama selesai, kami langsung mengecek rumah. Semua baik. Tak ada barang pecah.

Tapi kami langsung mengenakan baju lengkap. Ini sudah menjadi kebiasaan. Kalau gempa makin parah, kami tinggal meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil.

Baca juga: Mengerikan, Ratusan Orang Tewas Akibat Gempa dan Tsunami di Selandia Baru

Ketika jarum jam menunjuk pukul 02.22 waktu setempat, ibu mertua saya telepon dan panik. Dia meminta kami melakukan evakuasi ke daerah di atas bukit.

Saya kemudian memantau situasi melalui Twitter. Saya memperhatikan akun twitter milik pemerintahan kota Christchurch, tetapi mereka lama sekali mengupdate informasi terkini. Justru yang terus-menerus memberikan informasi terbaru adalah twitter NZ Civil Defense. Saya memantau terus info tentang gempa susulan serta kesediaan air bersih. Saya takut saluran air terganggu akibat gempa. Dan informasi yang saya dapatkan: kota Christchurch aman, tetapi beberapa daerah tidak aman.

Karenanya, kami memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumah usai gempa. Saya senditi tidak tahu apakah ada aparat kepolisian polisi yang mengatur orang-orang ketika dievakuasi ke arah bukit. Yang pasti, malam ini kami akan tidur di atas kasur yang kami letakkan di bawah.

Pagi tadi, saya juga langsung mengecek perbekalan darurat kami: baju, makanan, air minum, tenda, matras, dan lain-lain. Semua lengkap. Sejak bangun pukul 02.30 waktu setempat saya menonton televisi ada running text tentang gempa tersebut. Wilayah mana yang diperkirakan akan terkena dampak tsunami.

Dikatakan, penduduk yang tinggal sekitar satu kilometer sepanjang pesisir harus dievakuasi ke wilayah yang lebih tinggi, dan menghindari daerah pantai dan aliran air. Jangan jalan-jalan atau melihat-lihat, dan lain-lain. Standar, begitulah.

Eh, tapi kok tidak ada yang mengingatkan soal pentingnya persiapan emergency packs? Saya saling cek dengan teman dan tetangga di sekitar rumah. Kalau mereka tidak melakukan evakuasi -dan suami tidak panik- kami tidak akan meninggalkan rumah. Sekitar pukul 01.30 waktu setempat, ada gempa susulan yang lumayan membikin nervouz. Ketika saya cek ternyata kekuatannya 6,2 SR. Setelah saya rasakan aman, saya keluar dari rumah, untuk keliling sebentar ke sekitar blok. Orang-orang tidak ada yang panik. Tidak ada yang kabur. Jadi saya agak tenang.

Masyarakat juga tidak mengantri secara menghebohkan di pom bensin, kata suami saya, pagi tadi. Konsumen di supermarket juga tidak pada panic buying. Jadi ya kami tenang juga. Sebagian karena kami sudah punya persediaan darurat, sebagian karena menyadari tidak banyak yang bisa kami lakukan. Ini keseharian hidup yang harus kami hadapi.

Yang saya pahami dari cerita teman-teman adalah bahwa gempa pada tahun 2011 jauh lebih buruk, tetapi tidak ada orang sampai kelaparan. Semua tertangani dengan baik.

Begitu ada kabar tsunami -kendati tidak sedramatis Aceh- hal pertama yang saya pikirkan adalah: saya harus melakukan evakuasi ke mana. Saya tahu kami harus ke arah bukit, tapi pasti jalan ke arah sudah dipenuhi orang. Saya berpikir dulu, paniknya baru belakangan. Agak seram

Tapi yang agak seram, yaitu bahwa mertua saya tinggal di daerah pantai. Tapi karena yang membangunkan kami adalah mereka, dan mereka sudah berjalan ke atas bukit, kami menjadi tenang. Kami sendiri, tadinya mau masuk ke mobil dan pergi, tetapi setelah mengecek tetangga dan teman-teman, ternyata mereka tidak pergi.

Saya lantas teringat, kalau tsunami di Aceh airnya bisa masuk ke dalam kota Banda Aceh sejauh dua hingga tiga kilometer. Sementara, rumah kami sekitar 10km dari garis pantai, sehingga kami akhirnya memutuskan untuk tetap di rumah.

Walaupun saat kembali ke tempat tidur, kami sudah menyiapkan pakaian dan sepatu yang siap dikenakan jika terjadi sesuatu.

Tribunnews, BBC Indonesia