Andini Savietri Natasari: “Aku Sudah Berdamai Dengan Autoimun”

By nova.id, Sabtu, 19 November 2016 | 04:01 WIB
Andini Savietri Natasari (nova.id)

Cita-cita Dinis untuk menjadi dokter spesialis tinggal menjadi impian ketika ia divonis menderita empat jenis penyakit autoimun sekaligus. Penyakit ini juga yang membuatnya mengalami serangan stroke berulang kali. Meski sempat merasa tak berguna, kini ia berhasil bangkit kembali.  

Aku bungsu dari dua bersaudara, anak pasangan Ilyas Saad dan Ermita Ilyas. Cita-citaku ingin menjadi dokter seperti mama. Itu sebabnya, selepas SMA aku kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Aku mulai kuliah pada 2004 dan tiga tahun kemudian mulai koas. Tahun 2008, sewaktu sedang koas di bagian anak, selama sebulan aku terkena infeksi virus. Badan rasanya sakit semua tanpa alasan jelas.

Setelah diperiksa, ternyata aku kena virus Epstein-Barr. Mungkin, inilah yang menjadi pemicu penyakit autoimun yang kuderita. Autoimun sendiri adalah penyakit dimana sistem kekebalan tubuh yang seharusnya digunakan untuk melawan benda asing yang masuk ke tubuh, seperti virus dan lainnya, mengalami kelainan, sehingga justru menyerang tubuh penderitanya sendiri.

Tahun berikutnya, mulai muncul gejala autoimun. Yang pertama kurasakan adalah kedua pergelangan kakiku terasa sakit. Aku juga mudah lelah. Kupikir, ini wajar karena koas memang berat dan membuat fisik capek. Bukannya membaik, makin lama kondisiku malah tambah buruk. Beberapa kali aku mendadak merasa hampir pingsan, tiba-tiba lututku seolah tak bertulang, sehingga aku terjatuh. Bila awalnya aku hanya merasa sakit di kaki dan tangan, lama-kelamaan badanku sakit semua. Tubuhku seperti disayat-sayat dan ditusuk-tusuk. Bahkan, bergesekan dengan baju saja terasa sakit. Ini semua kurasakan dalam kurun waktu sekitar dua bulan.

Badanku terasa agak enak hanya pada saat mandi pagi dengan air hangat. Jadi, begitu bangun aku langsung mandi. Tapi, bangun dari tempat tidur saja sudah perjuangan tersendiri bagiku. Tubuh terasa kaku sehingga sulit digerakkan, seolah baru saja digebuki. Biasanya, aku berbaring dulu di tempat tidur selama setengah jam setelah bangun, baru setelahnya mandi dengan air hangat dan bisa beraktivitas. Namun, setelah kembali ke apartemen yang kebetulan dekat kampus seusai berkegiatan, aku langsung “teler” di tempat tidur. Bernapas pun rasanya berat.

Aku sendiri masih bingung apa sebenarnya yang terjadi padaku. Aku sudah memeriksakan diri ke berbagai dokter spesialis termasuk dokter saraf, tapi belum ada penjelasan memuaskan. Aku masih berpikir penyakit ini bisa disembuhkan. Saat itu, aku sempat didiagnosa macam-macam, mulai dari kurang vitamin, stres, dan lainnya. Namun, tidak ada penyelesaian dan aku mulai stres.

Akhirnya, aku tidak peduli apa sebetulnya penyakitku, yang penting jelas, ada namanya. Kalau penyakitnya jelas, kan, jadi bisa diketahui terapi yang bisa dilakukan. Mau ke ujung dunia pun, ibaratnya, masih bisa diupayakan. Aku tak mau dalam kondisi seperti itu terus, merasakan gejala yang tidak jelas dan tidak tahu bagaimana mengobatinya.

Akupuntur dan Diet Ketat

Suatu hari, aku disarankan tes autoimun. Ternyata, hasilnya aku positif mengidap penyakit ini. Namun diragukan karena tingkatannya masih rendah. Lagipula, gejala yang kualami juga belum khas, karena saking banyaknya rasa sakit yang kurasakan.

Mama akhirnya membawaku ke dokter pengobatan tradisional Cina untuk menjalani akupunktur di Malaysia, awal 2010. Alhamdulillah, setelah diakupunktur, sakit di seluruh badanku hilang. Sayang, kondisi badanku yang enak dan nyaman ini hanya berlangsung sebulan. Akhir bulan, rasa sakit mulai muncul kembali. Jadi, selama enam bulan aku harus kembali ke Malaysia untuk diakupunktur lagi sebulan sekali. Dengan begitu, aku bisa kembali meneruskan kuliah seperti biasa.

Dokter yang menerapi juga menyuruhku menjaga pola makan. Sebab, kalau mengonsumsi susu dan makanan yang mengandung tepung, rasa sakitku makin menjadi. Akhirnya, aku menjalankan diet ketat. Sehari-hari aku hanya makan nasi dari beras cokelat dan lebih banyak sayur dan buah-buahan. Daging merah maupun putih juga kuhindari. Yang kumakan hanya ikan, jamur, tahu, dan tempe. Gorengan kuhapus dari menu sehari-hariku. Semua makananku kalau enggak dikukus, ya, direbus. Minuman pun hanya air putih dan teh.

Alhamdulillah, dalam waktu enam bulan, penyakitku jadi remisif. Artinya, tidak aktif lagi dan bisa dikendalikan. Aku senang, walaupun menurut teori penyakit ini belum bisa disembuhkan. Kondisi badanku jadi lumayan, tidak sakit lagi. Memang sendiku masih sakit, tapi tinggal sedikit.