Cara Menyembuhkan Rasa Trauma pada Anak Pasca Bencana Alam

By nova.id, Rabu, 7 Desember 2016 | 09:45 WIB
Bangunan roboh akibat gempa 6,4 SR yang mengguncang Pidie Jaya, Aceh, Rabu 7 desemmber pagi sekitar pukul 05.03 WIB.jpg (nova.id)

Tak hanya orang dewasa, trauma pun bisa dialami anak-anak. Bahkan, pada kondisi tertentu, bisa berakibat fatal, lo. Lantas, bagaimana menyembuhkannya?

Gempa yang terjadi di Aceh, Rabu (7/12) pukul 05.03 mengingatkan banyak orang pada gempa dan tsunami hebat yang melanda Aceh pada 2004 silam. Tentu saja, bagi para korban yang hidup maupun keluarga yang telah kehilangan anggota keluarganya musibah ini masih membekas dalam secara mental. Trauma bisa mereka rasakan ketika melihat kejadian serupa berulang.

Menurut Dra. Rahmitha P. Soendjojo, Psi., trauma bisa diartikan sebagai suatu peristiwa yang dialami seseorang dan peristiwa itu bermakna negatif.

"Maksudnya, menimbulkan perasaan-perasaan kurang nyaman, takut, khawatir dan hal-hal berlebihan lainnya. Trauma ada kaitannya dengan hal-hal yang sifatnya cukup menyedihkan dan menyakitkan," ujar perempuan yang akrab disapa Mitha ini. 

Maka, trauma yang disebabkan oleh bencana tersebut tak jauh beda dari trauma yang dialami, misalnya seorang anak yang takut naik sepeda lantaran pernah jatuh dari sepeda.

"Kedua peristiwa tersebut menyebabkan gangguan pada anak, baik yang sifatnya fisik (jantung deg-degan, keluar keringat dingin, tidak bisa tidur), maupun secara emosional (si anak jadi menarik diri, merasa kesepian, dan merasa takut)," tambahnya. 

Baca: Trauma Aliya, Bocah 10 Tahun yang Merangkak Keluar Reruntuhan Ruko Saat Orangtuanya Terjebak Didalam 

Namun, menurut psikolog anak yang pernah aktif di Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) ini, anak-anak di bawah 3 tahun biasanya belum bisa mengatakan dia mengalami trauma.

"Mereka belum memaknakan seperti itu. Mereka akan memaknakan ada situasi yang sangat stressful padanya, yang membuatnya takut, menangis dan dia merasa enggak ada orang yang menolongnya." 

Trauma juga sangat berpengaruh pada kondisi fisik si anak. "Bisa jadi ia enggak mau makan dan tidur, karena segalanya enggak enak. Jika dibiarkan anak pun akan merasa, kok, enggak ada yang menolongnya. Nah, kalau ini berulang berhari-hari, lama kelamaan dia akan putus asa," lanjutnya.

Padahal, anak kecil gampang sakit dan dalam keadaan ekstrem bisa meninggal. Karena itulah pelukan, usapan, dan mengajak bicara si anak sangat diperlukan. Dan yang penting, jangan sampai perut si anak kosong. 

Baca: Korban Gempa Aceh: "Kami Belum Tahu Kemana Harus Mengungsi"

Terkait dengan bencana di Aceh, menurut Mitha, anak-anak yang menjadi korban bencana harus di-recovery secara fisik lebih dulu.

"Kalau dia lapar dikasih makan, kedinginan dikasih baju, enggak tidur disuruh tidur, dan sakit dikasih obat. Hal-hal seperti itu harus dipenuhi dulu," ujarnya. 

Setelah kondisi fisik si kecil teratasi, yang bisa dilakukan adalah bertemu dengan orang yang mau menghiburnya dan mengajak bicara. Kontak dengan orang akan membuatnya menjadi lebih hidup dan itu diperlukan sekali bagi seorang anak yang terkena trauma. 

Untuk trauma yang disebabkan oleh bencana alam, yang bisa melakukan hal-hal tersebut adalah orang-orang yang berada di luar lingkungan itu.

"Karena orang-orang yang ada di lingkungan itu pun sama saja mereka dalam kondisi yang sangat stressful dan traumatik. Seseorang yang secara emosional dan fisik tidak dalam keadaan prima, ketika mengasuh atau menolong orang lain pasti akan 'menular'. 

 

Lantas, perlukah menceritakan pada si kecil apa yang terjadi?

Menurut Mitha, jika si kecil telah memasuki masa sekolah dan bertanya apa sebenarnya yang terjadi sebaiknya dijelaskan. Bisa dimulai, misalnya dengan bertanya, "Kemarin kamu lagi ngapain? Kamu melihat air yang mengalir, ya? Deras atau enggak?"

Ini akan membantu si kecil untuk memahami kejadian itu sekaligus membantu meringankan bebannya. Sama halnya dengan kejadian yang menimpa seorang anak yang trauma karena terjatuh keras saat naik sepeda, misalnya. "Tinggal bagaimana persepsi kita sebagai orang tua memandang peristiwa tersebut." 

Sementara itu, waktu yang diperlukan untuk "menyembuhkan" trauma sangat relatif.

"Tergantung seberapa intens seseorang menolong si anak dan seberapa intens perstiwa itu terjadi. Sejauh mana orang tersebut punya kemampuan memaknai kejadian tersebut juga berpengaruh," terangnya. 

Jika lingkungan si anak cukup kondusif dan memberi pemaknaan-pemaknaan yang positif atas suatu peristiwa, trauma dipastikan bakal bisa hilang. Kunci utamanya adalah mengajarkan anak untuk bersyukur karena dirinya selamat.

"Khusus untuk bencana alam di Aceh, perspektif agama sangat berperan dan harus kencang dimasukin pada anak, misalnya mengajarkan untuk bersyukur dan tidak menyalahkan orang lain," papar Mitha. 

Sebab, anak bisa saja berpikir, "Apa aku nakal, ya? Kok, bisa kayak gini". Pertanyaan itu akan terlintas di pikiran si anak karena orientasi seorang anak biasanya ingin menyenangkan orang lain.

"Sehingga ketika ada sesuatu terjadi, ia pun akan berpikir seperti itu." 

Contoh sehari-hari ketika anak jatuh atau terantuk yang dimarahi adalah mejanya. Padahal, itu tidak tepat.

"Yang kita perlu tahu, penyebab kenapa ia sampai terantuk. Mungkin jalannya sembarangan dan enggak lihat-lihat sehingga tahu-tahu kesandung. Itulah yang selalu harus kita ingatkan," ujarnya.

Kita bisa menggunakan kata-kata lembut seperti, "Tadi kita kurang hati-hati ya waktu jalan? Kamu mungkin enggak bisa ngerem sehingga jatuh". 

Anak perlu diajarkan untuk melihat bahwa semua yang muncul di sekitarnya merupakan konsekuensi dari perilakunya yang tidak tepat.

"Misalnya naik sepeda telalu kencang atau lupa pegang rem. Mereka harus diajari melihat fakta-fakta itu, bukan hanya menyalahkan pihak luar."