Gangguan pendengaran dapat bersifat genetika. Data menyebutkan ada 5.200 kasus bayi lahir dalam keadaan tuli tiap tahunnya. Angka tersebut cukup tinggi dan menjadi masalah yang cukup pelik di Indonesia.
Gangguan pendengaran atau tuli sejak lahir bisa dideteksi dini. Biasanya tim medis bisa mendeteksi tuli sejak lahir dua hari pascalahir. Deteksi dini ini sangat penting untuk menentukan penangan yang tepat untuk bayi.
Baca: Kabar Baik, Gangguan Pendengaran Bawaan Lahir Bisa Dipulihkan dengan Teknologi Terbaru Ini
"Dua hari setelah dilahirkan dapat dideteksi," kata Ketua Perhimpunan Ahli THT Bedah Kepala Leher, dr. Soekirman Soekin, Sp.THT-KL di Direktorat Jendral Pencehagan dan Pengendalian Penyakit (DITJEN P2P) di Salemba, Jakarta Pusat.
Jika kondisi anak tidak diketahui secara cepat, tentunya akan mempengaruhi tingkat keparahannya di kemudian hari.
Ia pun menambahkan, jika gangguan pendengaran bayi terlambat diketahu, risiko terbesar adalah bayi tidak bisa bicara atau tuna wicara.
"Kalau tingkat tulinya tergolong berat, bayi tidak bisa bicara," katanya lagi.
Baca: #29CaraSehat: Apa Bedanya Kurang Pendengaran dan Tuli? Ketahui Lewat Tes Berikut
Waspadai Gejalanya
Orangtua diharapkan lebih awas dengan respons yang diberikan anak. Misalnya, ketika anak tertidur, jika ia memiliki pendengaran yang normal akan mudah kaget ketika tiba-tiba ada hentakam suara keras.
Jangan mudah senang jika anak terlihat anteng saat tidur. "Biasanya orang tua memuji anaknya anteng ketika tidur, padahal saat itu di rumah sedang berisik, orang tua harusnya curiga," imbuhnya.
Pada kasus tulis sejak lahir, biasanya dokter akan memberikan alat bantu dengar yang akan disesuaikan dengan tingkat gangguannya.
Khusus untuk bayi, biasanya dokter mendisain alat bantu dengar yang sesuai dengan lingkar kepala.
"Kalau dicantel di telinga saja, mudah lepas karena di tarik-tarik. Nah, buat bayi sengaja dibuat seperti bando," tutupnya.