Penyakit hipertensi tentu sudah sering kita dengar, yaitu di mana kondisi tekanan darah yang lebih tinggi di atas normal.
Namun, belum banyak orang yang mengetahui tentang hipertensi pulmonal atau yang juga biasa disebut sebagai hipertensi paru.
Orang yang menderita hipertensi paru biasanya akan mengalami cepat lelah, sesak napas, kaki bengkak, dan pusing bahkan pingsan.
(Baca: Perempuan Lebih Rentan Alami Hipertensi Paru, Apa Bedanya dengan Hipertensi Biasa?)
Begitu pula dengan yang dialami oleh Dhian Deliani, ibu dua orang anak yang menderita hupertensi pulmonial atau hipertensi paru.
Bagi Dhian, hipertensi paru yang dideritanya harus dihadapi dengan terus tersenyum.
“Saya awalnya memang sering sesak saat jalan, saat ngejar kereta, capek gitu. Tapi saya pikir capek itu wajar, kan. Semua orang juga capek. Sampai kemudian saya ikut tes CPNS dan ada tes rontgen. Di situ ketahuan ukuran jantung saya membesar,” tutur Dhian saat menceritakan awal mula didiagnosis hipertensi paru.
Dhian juga tak merasa curiga dengan kondisinya yang mudah lelah tersebut, apalagi informasi mengenai hipertensi paru belum pernah didengarnya sekalipun.
Sempat dua kali memastikan kondisi kesehatannya pada dokter spesialis jantung di RS Cipti Mangunkusumo Jakarta, dan RS Harapan Kita, Jakarta, dan ternyata memang hasilnya sama, yaitu menderita hipertensi paru.
(Baca: Bisa Diderita Anak Hingga Dewasa, Begini Mengenali Gejala Hipertensi di Paru-paru)
Tak langsung rutin minum obat, Dhian menyangkal keadaannya dan enggan menjalani pengobatan.
Selama 2 tahun Dhian menolak kondisinya ini dan tak menyentuh obat-obatannya.
Bahkan, Dhian berani melanjutkan pendidikannya dengan mengambil magister hukum di UI pada 2009.
Namun, di tengah kuliah, kondisi kesehatannya pun mulai menurun.
“Apalagi, teman saya ada yang meninggal. Akhirnya saya kembali rutin berobat,” tutur ibu dari Syifa Khairunnisa dan Shira Kalyana ini.
(Baca: Napas 'Mengik', Mudah Lelah, Jantung Berdebar Keras? Hati-hati Edema Paru)
Dhian merupakan salah satu perempuan pengidap hipertensi paru yang sangat beruntung, karena dikarunia dua buah hati dan melahirkan secara normal.
“Waktu hamil dan menyusui, alhamdulillah saya belum didiagnosa ASD (atrial septal defect atau kerusakan antara kedua ruang dalam jantung) dan PH (pulmonary hypertension),” jelasnya.
Hanya saja, ketika Dhian didiagnosis sekitar 11 tahun yang lalu atau tepatnya saat Dhian berusia 30 tahun, anaknya yang kedua masih berumur satu tahun.
Dhian pun jadi jarang menggendong anaknya karena keterbatasannya.
(Baca: Risiko Terjatuh Saat Hamil Besar dan Cara Mengatasinya)
Saat ini, ibu yang berprofesi sebagai pustakawan ini sangat bergantung pada suaminya yang bekerja sebagai pegawai swasta.
Suaminya pun selalu memastikan kondisi Dhian aman, dan selalu dalam pantauan terutama ketika bepergian sendiri.
Dhian menganalogikan cara bernapasnya dengan menggunakan sebuah sedotan.
“Coba bernapas dengan sedotan yang diletakkan di mulut, lalu tutup hidung. Rasa sesak itulah yang selalu dirasakan oleh dirinya dan para penderita hipertensi paru lainnya ketika bernapas.
“Kalau aktivitas di kantor relatif aman dan saya lebih banyak bekerja depan PC. Hanya saja kalau ada kegiatan di luar rutinitas. Agak berat,” sahutnya.
(Baca: Orang tua Wajib Tahu! Anak Terpapar Asap Rokok Sejak Kecil Potensi Jantung Koroner)
Tambah Dhian, yang semakin menjadi masalah adalah ketika dia berada di tempat umum.
Dirinya tak bisa menghisap asap rokok. Bernafas saja susah, apalagi menghisap udara yang penuh racun.
“Saya pribadi enggak suka pakai masker, karena nafas kurang lega, tapi kalau sudah tidak bisa dihindari, terpaksa pakai,” jelas perempuan berusian 41 tahun yang selalu tersenyum ini.
Apalagi, penampilannya yang tampak sehat membuatnya tidak mendapatkan prioritas, misalnya di commuter line, Dhian pasti diminta untuk memberikan kursi pada perempuan hamil.
“Jadi, saya jarang naik angkutan umum,” jelasnya.
(Baca: Hati-hati, 4 Organ Ini Menjadi Sasaran Utama Hipertensi!)
Untuk aktivitas di rumah, Dhian mengerjakan tugas ringan seperti menyapu atau beres-beres.
“Alhamdulillah suami saya tidak banyak menuntut, dan sangat mengerti kondisi saya. Misalnya, selalu menyediakan air hangat untuk mandi setiap pagi, membuatkan teh, berusaha menjadi orang pertama yang bisa dimintai bantuan. Kalau asisten tidak datang atau libur, suami yang turun tangan,” sahut Dhian.
Dhian pun bersyukur kedua anaknya yang berumur 14 tahun dan 11 tahun mengerti bila ibunya sedang capek.
“Mereka rela kehilangan quality time dengan ibunya, karena saya langsung pakai selang oksigen dan istirahat tidur sepulang kerja,” jelasnya.
(Baca: Ngeri, Hipertensi dan Gagal Jantung Ternyata Dipengaruhi Kebiasaan Tak Sehat Ini Sejak Kecil)
Sejak 2012, Dhian bersama rekan-rekan sesama penderita hipertensi paru mendirikan Yayasan Hipertensi Paru Indonesia yang resmi berbadan hukum sejak Desember 2014.
YHPI memiliki 4 program kerja, salah satunya adalah akses obat. Dari 14 obat yang tersedia di dunia, hanya 4 yang masuk ke Indonesia dan baru satu obat yang ditanggung oleh BPJS.
“Obat agak pelik juga, yang selama ini dipakai dan diresepkan pada kita bukan indikasi untuk hipertensi paru, hal yang kita perjuangkan itu jangkauan atau akses untuk pasien-pasien lain lewat BPJS. Karena obat yang dicover BPJS (adalah) obat tahap awal, tapi kan penyakit ini progresif,” rincinya.
(Baca: Kisah TKW Asal Madiun yang Koma di Hongkong)
Dhian sendiri harus mengeluarkan uang pribadi setidaknya 1 juta rupiah setiap bulannya untuk pengobatan rutin.
“Saya termasuk yang beruntung, tinggal di Jakarta, akses obat relatif mudah,” tutur Dhian membandingkan dengan para penderita hipertensi paru lain yang tinggal di daerah.
Lelah tentu sangat dirasakan oleh Dhian, apalagi dirinya menjalani pengobatan ini untuk seumur hidupnya.
Ditambah lagi, proses pengobatan di rumah sakit yang memakan waktu hingga 5-6 jam yang bisa membuat kondisi semakin drop.
“Jenuh pasti, setiap bulan harus ke RS dan setiap hari minum obat. Berharap suatu hari bisa stop berobat. Tapi daripada stress mikirin, jadi lebih baik jalani saja,” jelasnya.
Dhian juga berharap, masyarakat lebih mengenal hipertensi paru.
“Masih banyak dhian dhian yang lain, yang tidak seberuntung saya, yang kurang mendapat dukungan keluarga dan lingkungan,” tutupnya.