NOVA.id – Kerajinan hasil karyanya dengan label Kriya Daun 9996 itu tak hanya laku di dalam negeri, tetapi sudah diekspor ke luar negeri.
“Setiap bulan saya kirim minimal 500 kotak abu jenazah pada seorang customer di Inggris,” kata Siti Retnanik kepada NOVA di rumahnya, Jl. Ngagel Mulyo XV/23-A Surabaya, Selasa (3/4/2018).
Karena keterampilannya itu, nama Retnanik dikenal di kalangan industri handicraft Surabaya.
(Baca juga: Wah! Tahun 2008 Nadine Chandrawinata Pernah Pakai Gaun Pengantin Ibunya)
Dia juga berkesempatan ikut pameran ke Jerman dan Belanda, menulis buku, bahkan saat ini sering diundang ke berbagai kota di Indonesia untuk berbagi pengalaman pada ribuan ibu-ibu.
“Minggu ini saya juga memberi pelatihan kepada 600 lebih guru-guru sekolah dasar di Surabaya,” kata nenek dua cucu sambil tersenyum bangga.
Ternyata keberhasilan Retnanik jadi pengrajin tak lepas dari jasa mendiang suaminya, Heri Wibawanto, yang meninggal tahun 2005.
(Baca juga: Lakukan 5 Tips Ini agar Kulit Tetap Cantik Saat Perjalanan Jauh)
“Sebenarnya saya tidak menyangka jadi pengrajin seperti sekarang ini, karena pada dasarnya tidak punya bakat membuat kerajinan selain keterampilan memasak,” kata ibu kelahiran Jember, Jawa Timur ini pelan.
Retnanik mengungkapkan bahwa orang yang awalnya bersemangat membuat kerajinan dari limbah daun adalah suaminya.
Mendiang suaminya punya latar belakang pertanian dan kebetulan berdinas di Dinas Perkebunan Provinsi Jatim.
(Baca juga: Zaskia Adya Mecca Sebut Putra Bungsunya Bayi Koala, Kenapa ya?)
Keseharian suaminya adalah gemar bertanam di halaman belakang rumahnya, yang saat itu masih tinggal di Perumahan Pondok Chandra Sidoarjo.
Anehnya, sebagian sampah dedaunan yang berguguran tidak dibuang, tetapi diawetkan dengan cara disimpan di antara lembaran-lembaran buku atau istilahnya disebut proses herbarium.
“Pada awalnya saya sering marah, kan lebih baik dibuang di sampah, atau dibakar supaya bersih ketimbang mengotori rumah,” katanya.
(Baca juga: Curahan Kesedihan Istri Penyelam yang Tewas saat Selamatkan Tim Sepak Bola Thailand)
Suaminya sama sekali tak menggubris, bahkan hobi tersebut semakin menjadi setelah memasuki masa pensiun.
Suatu ketika, setelah melihat pameran kerajinan berbahan kulit jagung yang diawetkan, suaminya coba mengikuti.
Namun yang diawetkan bukan kulit jagung, melainkan dedaunan.
(Baca juga: Sempat Heboh Foto Luna Maya Telah Menikah, Begini Pernyataan Luna Maya)
“Karena saat itu dia melihat belum ada pengrajin yang memanfaatkan daun sebagai bahan dasar,” tambahnya.
Sejak saat itu, suaminya melakukan eksperimen mencari formula yang pas tentang cara mengeringkan daun, termasuk bagaimana membentuk gradasi warnannya.
“Saya makin marah, bahkan sempat saya “usir” kalau hobi anehnya tersebut diteruskan. Karena rumah jadi berantakan, penuh dengan sampah daun,” kata Retnanik sambil tertawa saat menceritakan masa-masa itu.
(Baca juga: Inilah 3 Alasan Kita Sebaiknya Makan Siang dengan Rekan Kerja)
Namun Heri pantang menyerah, bahkan dia malah menjawab singkat dengan penuh keyakinan, “Ingat bu, suatu saat daun-daun ini akan berubah menjadi uang, ” ucap sang suami dengan penuh keyakinan.
Ucapan itu kini memang jadi kenyataan.
Keteguhan suaminya itu tak hanya sampai di situ, dia mulai mencari formula bahan kimia untuk mengawetkan.
(Baca juga: Inilah 3 Alasan Kita Sebaiknya Makan Siang dengan Rekan Kerja)
Karena tak punya latar belakang teknik kimia, sehingga bahan yang digunakan dan cara mengolahnya agak ngawur.
“Dari beberapa eksperimen, saya tidak tahu bahan kimia apa yang digunakan, tapi pernah sampai meledak di atas kompor. Bahkan percobaan berikutnya pernah juga ember plastik tiba-tiba meleleh karena kepanasan,” kata Retnanik.
Di tengah kegagalan demi kegagalan, Heri bertemu dengan dosen teknik kimia ITS Surabaya.
(Baca juga: Sempat Heboh Foto Luna Maya Telah Menikah, Begini Pernyataan Luna Maya)
Setelah diskusi, akhirnya diberitahu campuran bahan yang bisa digunakan untuk mengawetkan daun-daun tersebut.
“Caranya dimasak menggunakan citrun zuur. Fungsinya, agar selain daun jadi menipis, awet, serta memunculkan gradasi warna. Untuk memutihkan, daun direndam beberapa saat dengan cairan pemutih pakaian. Sedang untuk mengeringkan, bukan dengan sinar matahari, tapi diseterika lembar demi lembar,” cerita Retnanik.
Awalnya, suaminya menggunakan beraneka daun, tetapi setelah itu memutuskan hanya dengan daun kupu-kupu saja.
(Baca juga: Yuk, Kenali Potensi Anak Lewat Teori 9 Kecerdasan Manusia, Ini Ulasannya!)
Selain murah, di Surabaya pohon daun kupun-kupu bertengger di sepanjang jalan.
Bentuknya juga apik, apalagi kalau sudah berjamur dan hilang lapisan daunnya, justru seratnya akan muncul dengan indah dan kuat.
Lalu, tepat tanggal 9 September 1996 Retnanik memproduksi kerajinan daun kering untuk pertama kalinya dengan membuat kotak tisu berbahan karton, dengan lapisan daun kupu-kupu.
(Baca juga: Seorang Perawat Tega Racuni 20 Pasien yang Sakit Parah karena Hal Ini)
Tanggal produksi pertama kali itu dianggap bersejarah, sehingga dijadikan label.
“Karya saya ini sudah dipatenkan di Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual,” papar Retnanik sambil menyebut produk pertama berupa kotak tisu itu ditawarkan pada arisan di kampung atau kegiatan-kegiatan di kelurahan.
Selain kotak tisu, Retnanik kemudian menambah koleksi dengan membuat kotak pensil berbagai ukuran, serta beberapa produk lain lagi.
“Alhamdulillah, setelah kami telateni termasuk ikut di berbagai pameran, usaha makin berkembang, bahkan buyer tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri,” ungkap Retnanik.
(Baca juga: Pakai SKTM, Ternyata Siswa Ini Punya Mobil, Begini Reaksi Pihak Sekolah)
Ditinggal Suami
Dalam proses berjuang memajukan ekonomi keluarga, dia tiba-tiba mendapat musibah.
Heri, suami tercinta meninggal dunia mendadak akibat serangan jantung pada tahun 2005.
Retnanik sempat oleng, setahun dia vakum.
(Baca juga: Wah, Jawab Pertanyaan Warganet, Cinta Laura Beberkan Rahasia Kecantikan Hingga Pemain Sepak Bola Favoritnya!)
Selain berduka, dia sendiri masih belum menguasai sepenuhnya ilmu handicraft dari mendiang suaminya.
Tapi, setelah itu, dia berusaha bangkit dengan melanjutkan sisa ilmu yang dimiliki suaminya.
“Dalam benak saya cuma satu, saya harus bangkit karena kehidupan kan harus tetap berjalan. Apalagi saya masih memiliki tiga anak yang perlu biaya,” cerita Retnanik.
(Baca juga: Berlibur ke Turki, Buah Hati Fenita Arie Tidak Rewel karena Diberi Ini)
Istilah yang mengatakan hasil tak akan mengingkari perjuangan itu memang benar adanya.
Kesungguhan dan ketekunan Retnanik membuat dirinya makin mandiri dan usahanya makin berkibar.
Karena makin besar, dia tak bisa lagi mengerjakan sendiri, melainkan harus dibantu karyawan yang saat ini berjumlah sekitar 20 orang.
(Baca juga: Tak Ingin Gemuk Meski Tetap Makan Nasi? Tenang, Begini Caranya)
“Sepanjang seseorang mau berusaha dan belajar, rasanya tidak ada yang tidak bisa diraih. Saya sudah membuktikan itu,” katanya Retnanik mantap.
Untuk menunjang usahanya, Retnanik didukung BANK BRI melalui program kredit UMKM.
Kredit dari BANK BRI itu sangat membantu, karena membeli bahan produksi sekaligus untuk gaji karyawan,” jelasRetnanikyangjuga menerima banyak pesanan untuk souvenir perkawinan dan hiasan di kafe-kafe.
(Baca juga: Yuk, Hilangkan Komedo di Hidung dengan Putih Telur, Begini Resepnya)
Salah satu kendala yang dia alami saat ini adalah soal SDM yang sangat terbatas.
Tidak semua karyawan, yang sebagian besar ibu- ibu, telaten dengan pekerjaannya.
“Solusinya, sebanyak apapun karyawan yang datang akan saya terima, karena nanti dalam perjalanan waktu pasti akan berkurang,” kata Retnanik yang saat ini omsetnya berkisar antara Rp50Juta - Rp75 juta per bulan.
Pantang menyerah memang pintu keberhasilan!(*)
Gandhi Wasono