Kisah Sukses Siti Retnanik, Mengolah Dedaunan Hingga ke Eropa

By Nova.id, Kamis, 12 Juli 2018 | 14:30 WIB
Mengolah Daun Hingga ke Eropa (Gandhi)

NOVA.id – Kerajinan hasil karyanya dengan label Kriya Daun 9996  itu tak hanya laku di dalam negeri, tetapi sudah diekspor ke luar negeri. 

“Setiap bulan saya kirim minimal 500 kotak abu jenazah pada seorang customer di Inggris,” kata Siti Retnanik kepada NOVA di rumahnya,  Jl. Ngagel Mulyo XV/23-A Surabaya, Selasa (3/4/2018).

Karena keterampilannya itu, nama Retnanik dikenal di kalangan industri handicraft Surabaya.

(Baca juga: Wah! Tahun 2008 Nadine Chandrawinata Pernah Pakai Gaun Pengantin Ibunya)

Dia juga berkesempatan ikut pameran ke Jerman dan Belanda, menulis buku,  bahkan saat ini sering  diundang  ke berbagai  kota di Indonesia  untuk  berbagi pengalaman pada  ribuan  ibu-ibu.

“Minggu ini saya juga memberi pelatihan kepada 600 lebih guru-guru sekolah dasar di Surabaya,” kata   nenek dua cucu sambil tersenyum bangga.

Ternyata keberhasilan Retnanik jadi pengrajin tak lepas dari jasa mendiang suaminya, Heri Wibawanto, yang meninggal tahun 2005.

(Baca juga: Lakukan 5 Tips Ini agar Kulit Tetap Cantik Saat Perjalanan Jauh)

“Sebenarnya    saya    tidak menyangka  jadi  pengrajin  seperti  sekarang ini, karena pada dasarnya tidak punya bakat membuat kerajinan selain keterampilan memasak,”  kata  ibu  kelahiran  Jember,  Jawa Timur ini pelan.

Retnanik  mengungkapkan  bahwa  orang yang awalnya bersemangat membuat kerajinan dari limbah daun adalah suaminya.

Mendiang  suaminya  punya  latar  belakang pertanian  dan  kebetulan  berdinas  di  Dinas Perkebunan Provinsi Jatim.

(Baca juga: Zaskia Adya Mecca Sebut Putra Bungsunya Bayi Koala, Kenapa ya?)

Keseharian suaminya adalah gemar bertanam di halaman belakang rumahnya,  yang  saat  itu  masih tinggal di Perumahan Pondok Chandra Sidoarjo.

Anehnya,   sebagian   sampah   dedaunan yang   berguguran   tidak   dibuang, tetapi diawetkan dengan  cara  disimpan di antara lembaran-lembaran   buku   atau   istilahnya disebut  proses  herbarium.   

“Pada awalnya saya sering marah, kan lebih baik dibuang di sampah,  atau dibakar supaya bersih ketimbang mengotori rumah,” katanya.

(Baca juga: Curahan Kesedihan Istri Penyelam yang Tewas saat Selamatkan Tim Sepak Bola Thailand)

Suaminya  sama  sekali  tak  menggubris, bahkan hobi tersebut semakin menjadi setelah memasuki  masa  pensiun.    

Suatu ketika, setelah melihat pameran kerajinan berbahan kulit jagung yang diawetkan, suaminya   coba   mengikuti.  

Namun   yang diawetkan  bukan  kulit  jagung,  melainkan dedaunan.   

(Baca juga: Sempat Heboh Foto Luna Maya Telah Menikah, Begini Pernyataan Luna Maya)

“Karena  saat  itu  dia  melihat belum  ada  pengrajin  yang  memanfaatkan daun sebagai bahan dasar,” tambahnya.

Sejak   saat   itu,   suaminya   melakukan eksperimen   mencari formula yang pas tentang cara mengeringkan daun, termasuk bagaimana  membentuk  gradasi  warnannya.

“Saya makin marah, bahkan sempat saya “usir”  kalau  hobi  anehnya  tersebut diteruskan.   Karena rumah jadi berantakan, penuh dengan sampah daun,” kata Retnanik sambil tertawa saat menceritakan masa-masa itu.

(Baca juga: Inilah 3 Alasan Kita Sebaiknya Makan Siang dengan Rekan Kerja)

Namun Heri pantang menyerah, bahkan dia malah menjawab singkat dengan penuh keyakinan, “Ingat bu, suatu saat daun-daun ini akan berubah menjadi uang, ” ucap sang suami dengan penuh keyakinan.

Ucapan itu kini memang jadi kenyataan.

Keteguhan suaminya itu tak hanya sampai di  situ,  dia mulai mencari formula bahan kimia untuk mengawetkan.

(Baca juga: Inilah 3 Alasan Kita Sebaiknya Makan Siang dengan Rekan Kerja)

Karena tak punya latar belakang teknik kimia, sehingga bahan yang digunakan dan cara mengolahnya agak ngawur.  

“Dari  beberapa  eksperimen,  saya tidak tahu bahan kimia apa yang digunakan, tapi pernah sampai meledak di atas kompor. Bahkan  percobaan  berikutnya  pernah  juga ember plastik tiba-tiba meleleh   karena kepanasan,” kata Retnanik.

Di   tengah   kegagalan   demi   kegagalan, Heri bertemu dengan dosen teknik kimia ITS Surabaya.

(Baca juga: Sempat Heboh Foto Luna Maya Telah Menikah, Begini Pernyataan Luna Maya)

Setelah diskusi, akhirnya diberitahu campuran bahan yang bisa digunakan untuk mengawetkan   daun-daun   tersebut.

“Caranya  dimasak  menggunakan  citrun zuur. Fungsinya, agar selain daun jadi menipis, awet, serta  memunculkan  gradasi  warna.  Untuk memutihkan, daun  direndam  beberapa  saat dengan cairan pemutih pakaian. Sedang untuk mengeringkan, bukan dengan sinar matahari, tapi  diseterika  lembar  demi  lembar,”  cerita Retnanik.

Awalnya, suaminya menggunakan beraneka daun, tetapi setelah itu memutuskan hanya dengan daun kupu-kupu saja.

(Baca juga: Yuk, Kenali Potensi Anak Lewat Teori 9 Kecerdasan Manusia, Ini Ulasannya!)

Selain murah, di Surabaya pohon daun kupun-kupu  bertengger  di  sepanjang  jalan.

Bentuknya  juga  apik,  apalagi  kalau  sudah berjamur dan hilang lapisan daunnya, justru seratnya akan muncul dengan indah dan kuat.

Lalu,  tepat  tanggal  9  September  1996 Retnanik memproduksi    kerajinan    daun kering untuk    pertama    kalinya    dengan membuat kotak tisu berbahan karton, dengan lapisan  daun  kupu-kupu. 

(Baca juga: Seorang Perawat Tega Racuni 20 Pasien yang Sakit Parah karena Hal Ini)

Tanggal  produksi pertama kali itu dianggap bersejarah, sehingga dijadikan label.  

“Karya saya   ini sudah dipatenkan di Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual,” papar Retnanik sambil menyebut produk pertama berupa kotak tisu itu ditawarkan pada arisan  di  kampung  atau kegiatan-kegiatan di kelurahan.

Selain   kotak   tisu,   Retnanik   kemudian menambah  koleksi  dengan  membuat  kotak pensil   berbagai   ukuran,   serta   beberapa produk lain lagi. 

“Alhamdulillah, setelah kami telateni termasuk  ikut  di  berbagai  pameran, usaha makin berkembang, bahkan buyer tidak hanya  dari  Indonesia,  tetapi  juga  dari  luar negeri,” ungkap Retnanik.

(Baca juga: Pakai SKTM, Ternyata Siswa Ini Punya Mobil, Begini Reaksi Pihak Sekolah)

Ditinggal Suami

Dalam    proses    berjuang memajukan ekonomi  keluarga, dia  tiba-tiba mendapat musibah.   

Heri,  suami  tercinta  meninggal dunia  mendadak  akibat  serangan  jantung pada  tahun  2005.  

Retnanik  sempat  oleng, setahun dia vakum.

(Baca juga: Wah, Jawab Pertanyaan Warganet, Cinta Laura Beberkan Rahasia Kecantikan Hingga Pemain Sepak Bola Favoritnya!)

Selain berduka, dia sendiri masih  belum  menguasai  sepenuhnya  ilmu handicraft  dari  mendiang  suaminya.   

Tapi, setelah  itu,  dia  berusaha  bangkit  dengan melanjutkan sisa ilmu yang dimiliki suaminya.

Hasil Karya Siti Retnanik (Gandhi)

“Dalam  benak  saya  cuma  satu,  saya  harus bangkit  karena  kehidupan  kan  harus  tetap berjalan. Apalagi  saya  masih  memiliki  tiga anak yang perlu biaya,” cerita Retnanik.

(Baca juga: Berlibur ke Turki, Buah Hati Fenita Arie Tidak Rewel karena Diberi Ini)

Istilah  yang mengatakan hasil  tak  akan mengingkari  perjuangan  itu  memang  benar adanya.    

Kesungguhan     dan     ketekunan Retnanik  membuat  dirinya  makin  mandiri dan usahanya makin berkibar.   

Karena makin  besar,  dia tak  bisa  lagi  mengerjakan sendiri,  melainkan  harus  dibantu  karyawan yang  saat  ini  berjumlah  sekitar  20  orang.

(Baca juga: Tak Ingin Gemuk Meski Tetap Makan Nasi? Tenang, Begini Caranya)

“Sepanjang  seseorang  mau  berusaha  dan belajar,  rasanya  tidak  ada  yang  tidak  bisa diraih. Saya sudah membuktikan itu,” katanya Retnanik mantap.

Untuk menunjang usahanya, Retnanik didukung BANK BRI melalui program kredit UMKM.

Kredit dari BANK BRI itu sangat  membantu,  karena membeli bahan produksi sekaligus  untuk  gaji  karyawan,” jelasRetnanikyangjuga menerima banyak pesanan untuk souvenir   perkawinan   dan hiasan di kafe-kafe.

(Baca juga: Yuk, Hilangkan Komedo di Hidung dengan Putih Telur, Begini Resepnya)

Salah satu kendala yang dia alami saat ini adalah soal SDM yang sangat terbatas.

Tidak semua  karyawan,  yang  sebagian  besar  ibu- ibu, telaten dengan pekerjaannya. 

“Solusinya, sebanyak apapun karyawan yang datang akan saya  terima,  karena  nanti  dalam  perjalanan waktu pasti akan berkurang,” kata Retnanik yang saat ini omsetnya berkisar antara Rp50Juta - Rp75 juta per bulan.

Pantang menyerah memang pintu keberhasilan!(*)

Gandhi Wasono