Seharusnya, alih-alih menggosip, ada baiknya kita ajak bicara si teman ini dan beri dia dukungan.
“Karena kalau kita ngomongin dia di grup, kan, enggak bakal bikin dia berubah juga,” ungkap Liza.
Daripada bergosip, cobalah ajak teman kita bertemu dan bercerita. Kita pun jadi tak cuma sibuk dengan sederet asumsi. Ajak dia untuk saling memberi feedback dalam hubungan pertemanan, agar kita dan si orang tersebut bisa tahu kekurangan masing-masing.
Yang terpenting, kita jadi tahu fakta dari gosip yang kita simpan dalam benak.
Baca juga: Berminat Menginap di Rumah Unik Ridwan Kamil yang Dibalut 30ribu Botol Bekas?
“Gunakan eye statement supaya tidak terlihat menyerang ke yang bersangkutan. Mulai ngobrol dari hal-hal lain dahulu, baru kemudian masing-masing kasih feedback ke si orang yang digosipin ini. Ini akan lebih efektif dan terlihat hasilnya daripada ngomongin di situ situ aja. Lebih baik kita melakukan hal lain,” tuturnya.
Sementara kalau kita berada di posisi pihak yang “dipaksa” bergosip, kita bisa, kok, menjauhkan diri kita dari hal ini dengan menolak secara bijak dan asertif.
“Memang yah, ada risiko. Dijuluki sok suci, atau semacamnya. Tapi, caranya bisa diatur. Misalnya ngajakin, Eh guys gimana kalau ketemuan saja? kan lebih enak ngomongnya,” usul Liza.
Baca juga: Eitss, Jangan Asal Bikin, Ini Dia 6 Tips Berbisnis Sukses di Sosmed
Nah, terakhir dan yang paling penting, tentu adalah pengendalian diri kita dalam menyerap gosip.
Misal, kita mulai tak lagi melihat sesuatu hanya dari satu sisi.
Apalagi jika info itu kita dapat dari media sosial, sampai menelan mentah-mentah sebuah pergunjingan, tanpa dipikir terlebih dulu.
Memang, bergosip bukan barang baru, tapi jika HP yang merupakan perangkat bergosip paling efektif saat ini saja sudah menjadi smartphone, kok kita belum juga “smart”?(*)
(Jeanett Verica)