NOVA.id - Bipolar merupakan penyakit yang seringkali disalah artikan sebagai gangguan jiwa.
Tidak sedikit penderita bipolar yang tidak mendapat perhatian layar dari orang-orang terdekat.
Sahabat NOVA, begini curahan hati salah penderitanya yang tidak mendapatkan kepedulian bahkan dari sang suami yang telah tayang di Tabloid NOVA edisi 1613.
Baca Juga : Kareena Kapoor Soroti Kasus Pengeroyokan Audrey di Pontianak: Kekerasan Anak Bukan Hal Main-Main!
Dear Ibu Rieny,
Usia saya 46 tahun, sudah menikah selama 19 tahun dengan masa pacaran 9 tahun dan punyai 1 anak laki-laki yang berusia 14 tahun, saya menulis ini dengan hati yang bimbang dan ingin sekali meninggalkan rumah, bahkan meninggalkan semua ini, hidup ini.
Saya memendam kemarahan dan kebencian kepada suami, bahkan saya merasa malas bicara dan bertatap muka, berulang kali saya jelaskan perasaan saya, seringnya dia hanya bilang, “Sori,” kemudian membaik sebentar lalu kembali lagi seperti semula, sampai terakhir saya bilang mau pergi, tapi, ya, dia masih seperti itu.
Saya bipolar 2, keadaan saya pada dasarnya adalah mayoritas depresi, down, sedih, dan kelam, tidak seperti orang bipolar yang pada umumnya mempunyai masa hypomanic (normal, red.), saya hampir tidak pernah merasakan itu, sehingga saya rutin minum obat untuk menjaga mood.
Orangtua saya bercerai ketika saya berusia 5 tahun, papa meninggalkan mami dengan lima orang anak yang masih kecil dan hutang, saya tidak banyak ingat memori masa kecil, saya hanya ingat lumayan bahagia, nakal, memiliki teman, dan sering nyanyi di balkon rumah, saya tidak ingat akan mami yang sibuk cari uang untuk melunasi hutang papa dan membiayai kami, saya juga tidak punya memori dengan kakak-kakak karena perbedaan usia
Saya tinggal di kota kecil di Sumatera, kemudian pindah ke Jakarta sewaktu SMA, saat SMA saya periang, punya banyak teman, agak nakal, tapi pintar, saya sering menulis diary tentang kesedihan yang tidak jelas ini, sakit kepala, sesak nafas terus menerus, saya dibawa ke berbagai dokter spesialis, tapi semua menyimpulkan saya baik-baik saja.
Baca Juga : Perut Syahrini Jadi Sorotan saat Manggung, Sudah Positif Hamil?
Kelas 3, saya bertemu suami, dia sangat sabar menghadapi amarah saya yang meledak-ledak, pengertian, dan pendengar yang telaten, saya sampai berpikir inilah jawaban, tuhan atas doa agar saya diberikan seseorang untuk menggengam tangan saya dan menarik saya ketika saya jatuh, waktu itu saya belum tahu kalau saya bipolar.
Kami menikah saat berusia 27 tahun, karier saya terbilang sukses, tapi kondisi saya semakin lama semakin parah, di kantor tidak ada yang tahu kondisi saya, mereka tidak tahu gemuruh dan kekalutan yang ada di hati dan pikiran saya.
Sewaktu kerja inilah saya akhirnya ke psikiater, mereka mengatakan saya bipolar 2, saat itu saya tetap bekerja, padahal keluarga sudah menyuruh saya untuk berhenti, saya butuh waktu cukup lama untuk memutuskan, karena saya khawatir kondisi keuangan keluarga kalau hanya mengandalkan suami, kami dan kakak berkali-kali mengatakan kalau suami saya itu tipe yang santai, jadi kalau ada yang saya kerjakan, maka dia akan membiarkan saya walaupun itu tanggung jawabnya, tapi pada akhirnya saya berhenti kerja lalu membantu perusahaan suami, jam kerjanya fleksibel dan saya kerja dari rumah.
Akan tetapi saya merasa tidak dihargai, gaji saya tidak jauh beda dengan sopir, alasannya, karena saya tidak pernah ke kantor, padahal kerjaan selalu saya selesaikan dengan baik.
Sekarang suami mulai aktif di kegiatan keagamaan, jadi ketua, ikut klub sepeda, dan jadi fotografer, masalahnya, prioritas dia kini bukan saya lagi, dia makin santai dan cuek, berangkat kerja siang tapi bisa pulang cepat karena dia direktur di perusahaan, tapi kalau saya perlu bantuan dia, seperti menjemput anak dari sekolah karena saya sakit, dia bilang tidak bisa dengan alasan sibuk atau ada rapat.
Baca Juga : Pelaku Pengeroyokan Audrey Tak Merasa Bersalah: Sok Tahu, Netizen Sok Suci!
Saat suami pulang, dia hanya bercerita mengenai kegiatannya, tanpa menanyakan kondisi saya atau anak, dia bahkan tidak pernah menanyakan hasil konsultasi saya ke psikiater, setelah itu dia masuk kamar kemudian sibuk dengan gadget-nya.
Ketidakpedulian dia yang semakin hari semakin membuat saya kesal dan memendam amarah, saya hanya bisa minum obat penenang, tapi dia pun cuek saja, saya pernah minta ditemani konsultasi ke psikiater, dia ogah-ogahan dan defensif ketika ketemu psikiater saya.
Dia tidak punya kekhawatiran soal masa depan, tidak punya tabungan, biaya sekolah anak, dan soal hari tua, semua keuangan saya yang pegang dan dia santai saja tidak tanya apakah cukup atau kurang, beberapa kali saya beri tahu tentang kondisi keuangan, dia hanya bilang sudah berusaha.
Saya berpikiran untuk meninggalkan suami, tapi tidak tahu harus bagaimana, saya tidak punya teman, tidak stabil emosinya, tidak punya penghasilan sendiri, mohon saran dari Ibu Rieny, terima kasih banyak.
Mita–Jakarta
Jawab:
Mita sayang,
Saya paham bila Anda tidak nyaman, saat suami seakan tidak memperlakukan Anda sebagai seorang penderita bipolar, sepanjang yang saya tahu, bila Anda teratur minum obat sesuai dosis dan rutin mengunjungi psikiater, maka akan ada proteksi terhadap gejolak mood dan emosi, ketika berbelas tahun, tak ada yang berubah, bagaimana kalau Anda mulai memikirkan dari sisi lain? Coba berhenti sejenak menjadikan diri sebagai pusat segala perhatian.
Baca Juga : Reino Barack Makin Religius, Syahrini dan Shireen Sungkar dari Dulu Sering Ngaji Bareng
Dari sisi suami, pernahkah Anda berpikir bahwa suami menganggap dirinya terjebak karena harus hidup dengan istri yang emosional, meledak-ledak, dan depresi, jangan emosi dan mengatakan saya tidak memahami Anda, ketika Anda membaca ini.
Namun, bagaimana dengan usaha yang Anda sudah kerahkan dari dalam diri? Adakah keinginan untuk mengatasi gejala yang ada dengan membangun sikap positif terhadap lingkungan? Misalnya, jujur pada diri, apakah benar mau sembuh, atau hanya tetap ingin diperhatikan secara istimewa oleh mami, kakak, dan suami? Bukannya saya jahat bertanya demikian, karena sebenarnya ada beberapa klien yang memang “menikmati” sakitnya. Ini yang harus diperangi terlebih dahulu, yakinkan diri bahwa sehat, dalam arti bisa mengendalikan emosi, adalah nikmat tak tertara.
Kalau dilihat, suami punya pekerjaan, bahkan punya perusahaan, diakui kepemimpinannya dan mampu pula mengembangkan hobi fotografi, sementara, bolehkah saya tanya, program pengembangan diri apa yang Anda sudah bangun selama ini?
Coba simak lagi surat Anda, adakah sedikit saja ruang yang memperlihatkan apresiasi atau penghargaan terhadap suami? Secara sosial, bukankah dia punya kedudukan cukup terhormat karena jadi ketua di kegiatan keagamaan? Dia juga punya komunitas yang positif karena hobi bersepeda.
Coba untuk mendekat ke komunitasnya agar mereka kenal Anda, tidak perlu ikut bersepeda, tapi sesekali jemput dan bawakan minuman dingin untuk suami dan teman-temannya, ngobrol sebentar, lalu pergi lagi bersama anak, itu namanya perhatian, bukan?
Baca Juga : Mantan Suami Mulan Jameela Ungkap Maia Estianty Pernah Berikan Rumah pada Istri Ahmad Dhani!
Anda mengatakan dia tidak bertanya perasaan Anda setiap harinya, jangan berharap dia tahu, tapi rebut perhatiannya, Anda bisa mengatakan, “Tidak ingin tahu, ya, bagaimana saya melewati hari ini?” Kita bicara tetang realitasnya, tidak tanya, ya, kita tanyakan.
Kalau suami punya sikap positif, dia akan balik bertanya dan mendengarkan Anda, kalau dia cuma memalingkan muka dan pergi, berarti ada sumbatan dalam komunikasi Anda. tidak ada yang mengatakan orang bipolar harus selalu dapat keistimewaan untuk diperhatikan dan disayang-sayang, tanpa mencoba menjadikan dirinya anggota keluarga yang juga aktif menjadikan orang lain nyaman berinteraksi dengannya, bukan hanya mengambil dan meminta, tetapi juga memberi dan berbagi.
Dari cerita masa lalu Anda, sepertinya Mama Anda banyak kehilangan golden moment untuk menjalin kebersamaan yang berkualitas dengan Anda, tetapi, untunglah Anda cukup smart untuk tahu bahwa dia berada dalam posisi tak bisa memlih, saat itu. Dia harus menafkahi keluarga dan menutup hutang ayah, logika anda bisa membenarkan, tetapi secara emosional, itu tetap sesuatu yang hilang dari masa kecil Anda, saya tidak mengajak Anda berandai-andai tentang masa lalu anda, tapi saya ingin mengajak Anda agar punya nyali untuk berani menatap semua pengalaman itu dengan bingkai pemikiran yang berbeda dari biasanya.
Lihat dari sisi positifnya. Mama kerja keras, tapi anak-anak membalas dengan sekolah dengan baik, bisa mandiri dan kini cukup bahagia, berbeda jauh usianya dari kakak-kakak membuat Anda seperti tumbuh sendirian? Bukankah kini mereka sangat sangat perhatian pada Anda? Membawa Anda ke sederetan spesialis bahkan berkomentar dan memberikan saran tentang suami Anda, semua hal tersebut adalah bentuk keberpihakan mereka kepada Anda.
Saya, kan, psikolog yang mencoba mengajak Anda keluar dari masalah−yang membuat anda mencari saya−, ya? Maka saran-saran tadi tolong dibaca dan dipertimbangkan, jangan dilawan atau dibantah, ya, sayangku, coba dicerna dulu. Insyaallah akan terasa perbedaannya, walau mungkin hanya sedikit.
Baca Juga : Tanya Jawab Psikologi NOVA: Aku Bingung Mendidik Kedua Anakku yang Beranjak Remaja
Ayo, raih perhatiannya, tanyakan bagaimana perasaannya saat menghadapi Anda yang meledak-ledak tak terduga, tanyakan rencana persiapan keuangan untuk anak, ingat, tidak pakai merengut, mengeluh, apalagi marah, ceritakan juga betapa susahnya Anda menahan sakit kepala saat menjemput si kecil.
Terlalu dini rasanya berpikir untuk berpisah, coba sediakan waktu untuk diri anda sendiri, tapi cari tahu terlebih dahulu apa minat Anda, fokus pada peluang untuk memperbaiki ini, ceritalah pada psikiater Anda, jangan datang hanya minta obat, rugi, tambahkan semangat perubahan, kurangi kecenderungan labilitas yang memang susah dikontrol itu.
Banyak, kok, orang bipolar yang sukses. Anda juga bias, kalau sudah membaik, mengapa tidak berkarir lagi, di luar rumah? Kembali ke perusahaan lama, misalnya, kan, anak sudah besar, hidup itu menyediakan banyak sekali peluang, tinggal pilih Anda mau tenggelam dalam sikap moody yang ekstrim atau mau berubah?
Obat, terapi, tanpa dorongan dari dalam diri untuk berubah menjadi lebih baik akan kecil sekali dampaknya, sisi lain, meninggalkan obat, berarti Anda membiarkan emosi Anda naik turun dengan ekstrim, pilih dengan bijak, ya, Jeng Mita sayang. (*)
Penulis | : | Tiur Kartikawati Renata Sari |
Editor | : | Alsabrina |
KOMENTAR