"Orangtuanya kan banyak peternak, kalau sudah lulus SD, apalagi laki-laki, tidak disarankan untuk sekolah malahan. Malah disarankan untuk nyari rumput," katanya.
Pola pikir masyarakat seperti itu membuat angka putus sekolah dari generasi ke generasi cukup tinggi. Karena itu, selain untuk memberikan pembelajaran, Gubuk Baca juga memotivasi anak-anak supaya sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke perguruan tinggi.
Seiring dengan berkembangnya Gubuk Baca, warga juga mulai termotivasi untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi lagi. Motivasi warga itu disebabkan oleh kedatangan berbagai kalangan ke Gubuk Baca. Seperti mahasiswa untuk mengabdikan diri mengajari anak-anak.
"Setelah kita berpartisipasi dengan belajar seperti ini, lalu kedatangan mahasiswa, mereka termotivasi untuk sekolah lanjutan. Orangtuanya secara tidak langsung juga mulai sadar edukasi," katanya.
Baca Juga: Dampingi SFH, Nola Be3 Pilih Limpahkan Tanggung Jawab Sekolah pada Anak
Saat ini sudah ada sekitar 30 warga di kampung tersebut yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Anak kampung tidak lagi berhenti setelah tamat SD. Kusnadi berharap akan lebih banyak lagi generasi di kampungnya yang berpendidikan tinggi.
"Biar kita yang tua-tua ini pendidikannya rendah. Yang penting adikku, anakku, generasi setelahku bisa sampai pada jenjang pendidikan yang tinggi biar mereka tidak kuper (kurang pergaulan), punya pengalaman luas, punya pendidikan yang lebih baik dan karir yang lebih baik juga," katanya.
Kusnadi memiliki keyakinan, solusi untuk memecah kemiskinan adalah dengan pendidikan. Berkaca dari pengalamannya yang hanya lulusan SMP, dia kerap ditolak saat mengajukan lamaran pekerjaan hingga akhirnya bekerja serabutan.
Kusnadi mengajarkan tari dan lukis kepada anak-anak di Gubuk Baca. Ilmu itu dia pelajari secara otodidak. Untuk pelajaran formal, Kusnadi menyerahkannya kepada para pendamping.
Baca Juga: Beberapa Tips Permainan dengan Anak untuk di Rumah dari Paddle Pop
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ratih |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR