"Saya awalnya terpaksa karena anak-anak di sini mau ke sanggar banyak yang tidak punya uang. Jadi mau tidak mau saya harus bisa nari. Harus bisa apapun supaya mereka minta apapun bisa saya turuti. Saya tidak bisa gambar, saya belajar, setelah saya bisa anak-anak tidak usah kemana-mana. Saya lesi saja," katanya.
Sampah rumah sebagai penopang Belum lama ini, Kusnadi terpikir memanfaatkan sampah untuk menopang biaya operasional Gubuk Baca. Anak-anak diminta mengumpulkan sampah yang ada di rumah mereka dan membawanya ke Gubuk Baca saat akan belajar di hari Minggu. Anak-anak yang suka dengan kerajinan tangan diajari membuat kerajinan dengan sampah tersebut. Misalnya mengolah sampah menjadi sebuah kerajinan ecobricks, repelika bunga anggrek, wadah pensil dan perhiasan.
"Minimal anak-anak bawa sampah dari rumah untuk mengurangi sampah di rumahnya," katanya. Hasil dari penjualan kerajinan tangan untuk membeli kapur tulis dan alat tulis lainnya untuk menunjang pembelajaran.
Sedangkan untuk buku, Gubuk Baca mendapat bantuan dari berbagai kalangan. Saat ini sudah terkumpul sekitar 300 hingga 400 buku yang bisa dipakai oleh anak-anak. Mulai dari buku pelajaran formal hingga buku yang berisi tentang cerita anak.
"Buku banyak dari kampus-kampus dan sekolah. Republik Gubuk juga mencarikan link untuk buku," katanya.
Baca Juga: Kabar Gembira! Nadiem Makarim Perbolehkan Dana BOS Dipakai untuk Beli Kuota Internet Guru dan Murid
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Dulu Suka Mabuk, Mantan Preman Kini Dirikan Gubuk Baca agar Tak Ada Anak Putus Sekolah
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ratih |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR